TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL ANTARA PEMILIK TAMBAK UDANG WINDU DENGAN PENDEGO DI DESA NGAMPEL KECAMATAN MANYAR KABUPATEN GRESIK
Abstract
Indonesia merupakan salah satu negara yang padat penduduknya dan hingga kini populasi penduduknya semakin bertambah, sedangkan jumlah area tanah yang ada adalah tetap, sehingga menimbulkan akibat tidak seimbangnya tanah yang ada dengan jumlah penduduk. Padahal semakin besar jumlah penduduk maka semakin besar pula tanah yang dibutuhkan, baik untuk perumahan, tempat umum, tambak dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Pengusahaan tambak secara bagi hasil memegang peranan penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat petani tambak. Begitu pula yang terjadi di Desa Ngampel Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik, dimana banyak penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani tambak. Dalam realitanya jumlah lahan yang tersedia dengan banyaknya petani yang ingin menjadi penggarap tambak tidak seimbang, artinya lebih banyak petani tambaknya dibandingkan dengan jumlah lahan yang tersedia. Satu sisi sebagian besar dari mereka tidak memiliki lahan untuk pertambakan, sedangkan disisi lain banyak orang yang mempunyai tambak yang cukup luas tetapi tidak mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan tambaknya sehingga cenderung memerlukan jasa orang lain untuk mengerjakan tambaknya, Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pasal 53 ayat 1 dinyatakan bahwa perjanjian bagi hasil diberi sifat sementara dalam arti dikemudian hari hak usaha bagi hasil tersebut akan ditiadakan karena bertentangan dengan pasal 10 ayat 1 yang menyatakan bahwa "setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif untuk mencegah cara-cara pemerasan". Namun hingga saat ini belum ada peraturan yang melarang atau menghapus adanya hak usaha bagi hasil tersebut, bahkan peraturan perjanjian bagi hasil untuk pertambakan telah diatur dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan. Dimana dengan berlakunya undang-undang tersebut maka ketentuan hukum adat mengenai hal-hal yang bersifat pemerasan dinyatakan tidak berlaku lagi, sedangkan untuk hal-hal tertentu asas dalam hukum adat itu masih dapat dipakai jika belum ada keseragaman.
Menjadi permasalahan disini adalah bagaimanakah sebenamya bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi antara pemilik tambak dengan pendego di Desa Ngampel Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik, serta bagaimana upaya penyelesaian jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Apakah masyarakat menggunakan hukuru adat yang berlaku atau mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bagi hasil perikanan.
Dengan dilakukannya studi lapangan ini, maka akan dapat diketahui dengan jelas gambaran atau informasi secara faktual tentang bentuk perjanjian bagi hasil tambak yang terjadi di desa Ngampel khususnya, dan bagaimanakah upaya penyelesaian jika terjadi sengketa antara pemilik tambak dengan pendego dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tersebut.
Untuk mengetahui dengan jelas gambaran atau informasi mengenai bentuk perjanjian bagi hasil dan upaya penyelesaian sengketa antara pemilik tambak dengan pendego di desa Ngampel, dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis, yang diperoleh dengan menggunakan sumber data sekunder dan sumber data primer.
Dari dua sumber data tersebut kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, sehingga dari analisa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk perjanjian bagi hasil tambak yang terjadi di desa Ngampel dalam praktiknya hanya dilakukan secara lisan, artinya tidak dibuat dalam bentuk tertulis, hal ini didasarkan pada adat kebiasaan setempat yang masih menjunjung tinggi rasa saling percaya dan tolong menolong satu sama lain. Dan sebagai upaya penyelesaian sengketa yang terjadi, masyarakat desa Ngampel umumnya hanya melakukan secara musyawarah kekeluargaan diantara para pihak tanpa harus melibatkan kepala desa, hal ini karena dalam proses pembuatan perjanjian tidak dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa.
Guna menjamin kepastian hukum serta melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik pemilik tambak maupun pendego tambak, maka disarankan untuk membuat perjanjian bagi hasil tersebut secara tertulis dihadapan kepala desa, disamping itu perlunya sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 yang mengatur tentang bagi hasil perikanan kepada masyarakat secara terpadu.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]