TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SYARAT POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ISTRI
Abstract
Rumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) apakah syarat-syarat
poligami yang terdapat di dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 telah
memberikan perlindungan terhadap hak istri? Dan (2) apakah akibat hukumnya
apabila perkawinan poligami tidak mendapatkan ijin dari istri? Tujuan umum
penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah
wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya hukum lingkup
hukum perdata. Tujuan khusus dalam penulisan untuk mengetahui dan memahami
mengenai: (1) perlindungan hak istri dalam poligami dan (2) mengetahui dan
memahami akibat hukum perkawinan poligami yang tidak mendapat izin dari istri
pertamanya.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian
yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan
dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau normanorma
dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan
undang-undang dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan penelitian dalam skripsi ini
menggunakan analisis normatif deskriptif. Guna menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan hukum
deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Syarat-syarat
poligami dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah
memberikan perlindungan terhadap hak istri. Suami yang ingin berpoligami
wajib memenuhi ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yaitu: a).
Adanya persetujuan dari istri/istri-istri; Persetujuan ini dapat berupa pernyataan
hitam diatas putih atau tertulis. Dalam pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 memberikan penjelasan bahwa seorang suami yang bermaksud
untuk mengambil istri baru atau berpoligami, maka diwajibkan memohon ijin
tertulis dari pengadilan. Pengadilan akan meneliti terkait alasan pemohon yakni
sang suami untuk melakukan poligami telah sesuai dengan ketentuan Undangxiii
undang Perkawinan dan untuk memastikan bahwa sang suami telah melakukan
izin poligami secara lisan maka istri atau para istri harus mengulang ijin
didepan pengadilan. Terkait persetujuan atau ijin secara lisan dari sang istri
diperjelas dalam Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
yang berbunyi: Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan lisan maka harus diucapkan di depan
Pengadilan. b). Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan
hidup istri- istri dan anak-anak mereka. Untuk menentukan secara
konkrit terkait jaminan yang pasti adalah sulit, hakim diharuskan mengukur
secara objektif dari jumlah kekayaan saat permohonan diajukan. Jumlah kekayaan
ini dapat berupa surat keterangan penghasilan suami yang ditandatangani oleh
kantor tempat suami bekerja, surat keterangan pajak pengahasilan atau surat-surat
lain yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan oleh Pengadilan. Jadi
kepastian yang diamksud dalam ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan adalah penilaian Hakim berdasarkan kekayaan yang
ada pada saat permohonan diajukan, bukan kepastian yang bersifat absolut. c).
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka. Terkait menentukan jaminan bahwa sang suami berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka juga sulit, Hakim harus bisa memastikan layak
atau tidak seorang suami untuk membuat surat pernyataan untuk berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, karena suami yang ingkar janji dan
tidak konsekuen dapat dilakukan penuntutuan ke Pengadilan.
Akibat hukum dari perkawinan poligami yang tidak mendapat ijin dari istri
pertama adalah tidak sah. Perkawinan yang tidak sah sudah tentu tidak dapat
dicatat dalam undang-undang perkawinan. Akibatnya perkawinan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap para pihak yang melaksanakan
perkawinan poligami tanpa memenuhi ketentuan pasal 5 ayat (1) undang-undang
perkawinan. Oleh karena itu, bagi suami yang ingin poligami benar-benar harus
melalui ketentuan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6243]