KAJIAN YURIDIS PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK SIMALUNGUN DI KABUPATEN PEMATANG SIANTAR
Abstract
erkawinan menurut hukum adat Batak Simalungun mengatur tentang keabsahan perkawinan, bentuk perkawinan, dan pelaksanaan perkawinan suku Simalungun yang dimulai dari acara peminangan, pelamaran, sampai sahnya perkawinan, dan mengatur tentang akibat hukum yang timbul dari perkawinan suku Simalungun. Perkawinan suku Simalungun sangat menjunjung tinggi prinsip/falsafah budayanya yaitu tolu sahundulan dan lima saodoran. Prinsip budaya itu menentukan kekerabatan jauh atau dekatnya marga yang dimiliki, karena marga sangat menentukan identitas/status kedudukan seseorang dalam upacara adat.
Keabsahan perkawinan suku Simalungun dilakukan terlebih dahulu melalui upacara keagamaan dan upacara secara adat perkawinan suku Simalungun. Hal itu dipengaruhi oleh adanya prinsip tolu sahundulan dan lima saodoran terdiri dari tondong (kelompok istri), sanina (sanak saudara satu keturunan/marga), anak boru/boru(pihak ipar). Kelompok ataupun kerabat tersebut mempunyai tugas atau peran yang berbeda-beda dalam upacara.
Berdasarkan hal tersebut dalam skripsi ini, permasalahan yang akan dibahas (1) bagaimana keabsahan perkawinan menurut hukum adat Batak Simalungun di Kabupaten Pematang Siantar, (2) bagaimana proses bentuk perkawinan adat menurut hukum adat Batak Simalungun di Pematang Siantar, dan (3) bagaimana akibat hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak Simalungun di Pematang Siantar. Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk menganalisis maksud dari permasalahan yang hendak dibahas.
Pada penulisan skripsi ini digunakan tipe penelitian yang bersifat yuridis empiris (yuridis sosiologis), yaitu suatu pembahasan terhadap suatu realitas sosial yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku secara positif, dihubungkan dengan praktek atau kenyataan yang terjadi didalam masyarakat karena adanya perumusan masalah, pembuatan data, wawancara sedangkan seluruh proses berakhir dengan penarikan kesimpulan. Adapun pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah hukum adat sebagai norma hukum yang sebagian besar tidak tertulis. Sumber data yang digunakan adalah data primer, data sekunder, dan data tersier. Tehnik pengumpulan data dalam skripsi ini adalah observasi dan wawancara. Proses penelitian adalah suatu proses untuk menemukan jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang terjadi atau fenomena sosial yang diteliti dan terjadi dalam suatu kehidupan masyarakat. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskripstif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti, dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya disajikan secara deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif yaitu hasil jawaban atas permasalahan umum menjadi permasalahan yang bersifat khusus.
Adapun kesimpulan pada skripsi ini adalah keabsahan perkawinan suku Simalungun dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama kemudian dilakukan secara hukum adat perkawinan suku Simalungun. Pada zaman dahulu sebelum suku Simalungun mengenal agama, perkawinan dilakukan dihadapan para datu (dukun), yang dipersembahkan kepada Naibata (dewa pencipta segala yang ada di bumi). Naibata itu terbagi 3 (tiga) yaitu: Naibata atas, Naibata bawah, dan Naibata bawah. Namun, setelah tahun 1968 pada saat berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun perkawinan Simalungun dilakukan di hadapan Pendeta/Pastor ataupun Kyai/Ustad. Upacara secara adat dilakukan berdasarkan prinsip tolu sahundulan dan lima saodoran terdiri dari tondong (kelompok istri), sanina (sanak saudara satu keturunan/marga), anak boru/boru (pihak ipar). Kelompok ataupun kerabat tersebut mempunyai tugas atau peran yang berbeda-beda dalam upacara. Prosedur perkawinan suku Simalungun dimulai dari: parpadanan ni namaposo (janji oleh sepasang kekasih), mambere goloman (pemberian tanda pengikat janji), horja paima pajabu/parumah/patambei parsahapan (yang harus dilakukan sebelum kedua orangtua laki-laki dan perempuan bertemu untuk membicarakan pelaksanaan perkawinan), patampei parsahapan (penyampaian menegenai persiapan perkawinan), mamboban indahan paralop/mangalop boru (membawa makanan untuk menjemput perempuan), pajabu parsahapan rup pakon paralop, yaitu persiapan ke gereja untuk melakukan parpadanan (pengikatan janji untuk melaksanakan perkawinan), martonggo raja atau maria raja (suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis), acara pesta, pardas ni penganten i rumah ni paranak (calon pengantin perempuan dirumah calon pengantin laki-laki), paulak goloman yaitupemberian tanda pengikat janji mereka dipulangkan kepada anak boru jabu pengantin pria, tetapi kalau uang partadingan tidak perlu dipulangkan. Akibat hukum dari perkawinan suku Simalungun dalam hal kedudukan anak adalah anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibu yang sah, walaupun mungkin terjadinya perkawinan itu setelah ibunya hamil dulu sebelum perkawinan. Orangtua bukan saja dalam garis lurus keatas tetapi juga dalam garis ke samping, seperti para tulang, dan sanina (saudara ayah yang lelaki). Anak mengikuti kerabat dari ayah/bapak ataupun kerabat dari ayah, dalam hal kedudukan anak dengan kerabat yaitu anak bukan saja wajib hormat kepada bapa (ayah) dan inang (ibu), tetapi juga wajib hormat terutama pada para tulang dan sanina bapa (saudara lelaki dari ayah). Kedudukan perempuan Simalungun dalam memperoleh harta warisan pada saat ini sangat rendah dan adat pewarisan suku Simalungun menyatakan bahwa anak perempuan bukan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]