dc.description.abstract | Latar belakang skripsi ini adalah PT. PLN (Persero) sebagai salah satu
perusahaan milik Negara merasa perlu adanya suatu sistem pelayanan
pembayaran yang berorientasi pada pelanggan melalui kerjasama dengan berbagai
pihak, yakni dalam bentukPayment Point Online Bank (selanjutnya disebut
sebagai PPOB).Kebijakan PPOB tersebut diterapkan dengan tujuan memberikan
pelayanan lebih bagi konsumen seiring dengan perubahan tekhnologi dan arus
informasi yang cepat. Namun di sisi lain, kebijakan penerapan pembayaran
melalui PPOB tersebut ternyata telah menciderai hak-hak konsumen. Konsumen
dibebankan biaya tambahan administrasi yang jumlahnya bervariasi, berkisar
Rp1.600,00 sampai Rp5.000,00. Kebijakan ini dicantumkan secara sepihak dalam
perjanjian baku melalui Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik sehingga
melanggar ketentuan dalam Undang-undang no 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut dengan UUPK).
Permasalahan skripsi ini adalah Bagaimana Hubungan hukum antara PT.
PLN (Persero), Bank, dan Konsumen dan konsekuensi hukum pembebanan biaya
tambahan tanpa kesepakatan serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
konsumen akibat adanya kerugian atas pembebanan biaya administrasi yang
dilakukan PT. PLN (Persero) dalam kegiatan pembayaran listrik melalui sistem
online perbankan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif,
yaitu pendekatan yang mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif, seperti undang-undang, peraturan-peraturan, seperti
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undangundang
Nomor 37 Tahun 2007 tentang Ketenagalistrikan, serta peraturan yang
berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari permasalahan adalah pertama,
Antara PT. PLN (Persero) dengan pelanggan terdapat hubungan hukum jual beli
tenaga listrik sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik, sedangkan antara Bank dengan Konsumen tidak memiliki
hubungan hukum, karena Perjanjian PPOB tersebut merupakan hasil dari
perjanjian antara PT. PLN (Persero) dengan Bank sebagai mitra kerja. Konsumen
hanya memiliki kewajiban untuk membayarkan sejumlah tagihan kepada PT. PLN
(Persero) tanpa adanya penambahan biaya oleh Bank. Kedua, Perjanjian dalam
system PPOB tidak memenuhi baik syarat objektif maupun subjektif , maka
konsekuensi hukum nya adalah artinya maka perjanjian mengenai PPOB antara
konsumen dengan PT. PLN (Persero) menjadi tidak sah dan tidak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum. Tidak sahnya perjanjian mengakibatkan
hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban pihak pihak yang ada
dalam PPOB menjadi tidak berlaku lagi.Ketiga, Upaya Hukum yang dapat
ditempuh oleh konsumen yang merasa dirugikan akibat system pembayaran
PPOB, maka dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.
Adapun saran penulis adalah pertama, Konsumen diharapkan memiliki
pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajibannya sebagai konsumen
sehingga dapat bersikap kritis apabila tidak mengerti atas suatu kebijakan kepada
pelaku usaha dengan meminta segala informasi serta dasar hukum pelaksanaan
dengan jalan melaporkan kejadian yang merugikan konsumen melalui lembaga
perlindungan konsumen yang telah ada. Kedua, PT PLN (Persero) sebaiknya
melakukan komunikasi serta lebih terbuka atas semua informasi yang berkenaan
dengan suatu kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak konsumen serta tidak
membebankan kepada konsumen atas biaya administrasi akibat penerapan PPOB
atau tetap memberikan pilihan kepada konsumen untuk memilih system
pembayaran apa yang akan dipakai.Ketiga, pemerintah harus mengambil tindakan
administratif atau tindakan hukum apabila ditemukan pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku usaha serta melakukan amandemen terhadap uu ketenagalistrikan
sehingga tidak memberikan celah terhadap pelanggaran hak konsumen. | en_US |