PENCABUTAN HAK ASUH ANAK AKIBAT SALAH SATU ORANG TUA MELALAIKAN KEWAJIBAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Nomor : 226/Pdt.G/2009/PA.Rks)
Abstract
Perkawinan yang sah mendambakan hadirnya seorang anak untuk
meneruskan keturunan orang tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan mental dan
kepribadian anak. Dalam setiap perkawinan tidak semua pasangan dapat mencapai
tujuan tersebut dengan baik karena perkawinan merupakan suatu proses
penggabungan dua sifat manusia yang berbeda. Perceraian merupakan salah satu
sebab bubarnya suatu perkawinan, yang di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 disamping asas monogami, perceraian mendapat tempat tersendiri karena
kenyatannya di dalam masyarakat, perkawinan seringkali terjadi berakhir dengan
perceraian yang begitu mudah. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi
nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah batin seperti kasih sayang dan
pendidikan formal maupun pendidikan informal. Dalam hal ini siapa pun yang
melakukan pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 UU No. 1 Th. 1974 ayah tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak
berumur 21 tahun. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya
tersebut menurut Pasal 49 UU No. 1 Th. 1974 dapat dicabut kekuasaannya atas
permintaan orang tua yang lain. Hal ini terjadi pada perkara perdata melalui
putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Nomor 226/Pdt.G/2009/PA.Rks,
dengan posisi kasus sebagai berikut: Penggugat dan Tergugat semula sebagai
suami isteri sah yang menikah pada tanggal 9 April 2002, di hadapan petugas
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Rangkasbitung, sebagaimana
Kutipan Akta Nikah Nomor : 382/60/IV/2002 dan dari perkawinan tersebut telah
mempunyai 2 orang anak dimana anak pertama adalah laki-laki yang berumur 7
tahun 1 bulan dan anak kedua adalah perempuan yang berumur 4 tahun 5 bulan.
Pada tanggal 21 Juni 2006 penggugat dan tergugat telah bercerai di Pengadilan
Agama Rangkasbitung dengan putusan Nomor 75/Pdt.G/2006/PA.Rks dan Akta
Cerai Nomor: 77/AC/2006/PA.Rks tanggal 10 Juli 2006. Kedua anak hasil dari
perkawinan Penggugat dan Tergugat dimana anak pertama diasuh / dibawa oleh
Tergugat di Karawang, sedangkan anak kedua diasuh oleh Penggugat di
Rangkasbitung. Penggugat menghendaki kedua anak Penggugat dan Tergugat
diasuh oleh Penggugat di Rangkasbitung karena masih dibawah umur. Penggugat
sempat membuat perjanjian dengan Tergugat tertanggal 18 Januari 2007 tentang
kedua anak Penggugat dan Tergugat diserahkan hak asuh kepada Tergugat namun
waktu itu kondisi Penggugat dalam keadaan tertekan /terpaksa.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut: Pertama Apakah pertimbangan hukum hakim
dalam memutus perkara pencabutan hak asuh anak Nomor:
226/Pdt.G/2009/PA.Rks telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku? Kedua Apa saja akibat hukum atas pencabutan hak asuh
anak?
Adapun tujuan penelitian skripsi ini ada 2 (dua) yaitu : Tujuan umum
penulisan skripsi ini adalah Pertama Memenuhi dan melengkapi tugas sebagai
persyaratan yang telah ditentukan guna meraih gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jember; Kedua Memberikan kontribusi atau
sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum yang bermanfaat bagi almamater
xii
xiv
dan masyarakat pada umumnya. Tujuan khusus penulisan skripsi ini adalah :
Pertama Mengetahui dan memahami pertimbangan hukum hakim dalam memutus
perkara pencabutan hak asuh anak Nomor: 226/Pdt.G/2009/PA.Rks; Kedua
Mengetahui dan memahami akibat hukum dari pencabutan hak asuh anak akibat
salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dijelaskan bahwa :
Pertama Akibat hukum dari pencabutan hak asuh anak yaitu salah satu orang tua
dicabut hak asuhnya karena kelalaian dalam mengasuh anak dan tidak dapat lagi
mengasuh anak tersebut. Sebagaimana yang sudah di jelaskan dalam Pasal 49 UU
Perkawinan dan Pasal 156 (c) Kompilasi Hukum Islam. Kedua Pertimbangan
hukum majelis hakim dalam putusan Nomor: 226/Pdt.G/2009/PA.Rks telah
sesuai dengan dengan ketentuan perundang-undangan yakni sesuaian dengan
Pasal 105 KHI bahwa anak mumayyis haruslah diasuh oleh sesorang ibu apabila
terjadi perceraian dalam suatu perkawinan karena seorang anak yang belum
mumayyis atau belum berusia 12 tahun masih membutuhkan perhatian dan kasih
sayang dari seorang ibu yang pada dasarnya lebih memiliki sensitifitas, rasa iba
dan kedekatan psikologis dengan anak daripada pemeliharaan yang dilakukan
oleh seorang ayah.
Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan penulisan
skripsi ini, yaitu : Pertama Dalam perkara pencabutan hak asuh anak dengan
alasan-alasan yang menyangkut anak terutama menyangkut rasa aman dan
nyaman pada diri anak tersebut seharusnya para orang tua harus lebih
mementingkan kepentingan dan kebutuhan anak terlebih dahulu mengingat pada
usia 12 tahun/belum mumayyiz anak masih membutuhkan perhatian, kasih
kasayang, dan pendidikan yang baik dari orang tua. Kedua Majelis hakim dalam
memutus perkara Nomor: 226/Pdt.G/2009/PA.Rks dalam pertimbangannya selain
berpedoman pada Pasal 105 juga dapat menggunakan Pasal 156 (c) Kompilasi
Hukum Islam. Pemberian hak hadhanah juga harus menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak sehingga akan memberikan rasa aman dan nyaman
terhadap anak yang diasuh sebagaimana yang sudah di jelaskan dalam Pasal 156
(c) tersebut.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]