Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
Abstract
Setiap negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pemulihan dalam hal
terjadi sesuatu pelanggaran terhadap kewajiban di bawah hukum internasional untuk
menghormati dan memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk
kewajiban untuk mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran,
kewajiban untuk mengambil tindakan yang layak terhadap para pelanggar, kewajiban
untuk memberikan penanganan hukum kepada para korban. Negara harus
memastikan bahwa tidak ada orang yang mungkin bertanggung jawab atas
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia akan mempunyai kekebalan dari
tanggung jawab atas tindakan mereka.
Dalam berbagai kasus Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, seringkali pusat
perhatian lebih ditujukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada
persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku.
Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap
pelanggaran hak asasi manusia, apakah dalam kategori „berat‟ atau bukan, senantiasa
menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation) kepada
para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban harus dilihat
sebagai bagaian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia secara
keseluruhan. Tidak ada hak asasi manusia tanpa pemulihan atas pelanggarannya.
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan
kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan oleh Muladi
saat menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi karena pertama, masyarakat
dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan yang melembaga (system of
institutionalized trust). Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna
penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan
hukum lain yang menyangkut korban akan bermakna penghancuran sistem
kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argument kontrak sosial dan solidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi terhadap kejahatan dan
melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat
korban kejahatan maka Negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara
peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang
biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik.
Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Pengaturan dalam Undang – Undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sedikit berbeda dengan Undang-Undang No.26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang juga memberikan
pengaturan atas hak kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran berat hak
asasi manusia. Untuk implementasi hak-hak korban tersebut, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat.
Ganti kerugian kepada korban pelanggaran HAM yang berat dibebankan
kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan Negara. Pelaku kejahatan atau pihak
ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban, dan inilah yang didefinisikan
dengan „restitusi‟. Sementara dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian
kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak
mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban. Dengan ketentuan ini,
muncul konsep tanggung jawab Negara terhadap korban kejahatan (korban
pelanggaran HAM berat).
Pada beberapa Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, seperti
pada kasus Timor-Timur, kasus Tanjung Priok dan kasus Abepura, Dari ketiga kasus
yang diperiksa dan diadili di pengadilan HAM, putusan-putusan yang dijatuhkan
tidak secara keseluruhan membuktikan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ketidakberhasilan membuktikan dakwaan atau perbedaan putusan dalam
menentukan ada tidaknya perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusian sangat
tergantung dari penafsiran atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana disebutkan diatas. Maka meskipun adanya korban dalam pelanggaran
tersebut, tidak dipastikan korban mendapatkan kompensasi atau restitusi.
Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam kasus pelanggaran HAM yang
berat sampai saat ini masih menyisakan persoalan terutama terkait pemenuhannya.
Hampir tidak ada korban yang mendapatkan hak-hak tersebut meskipun 3 (tiga)
pengadilan telah dilaksanakan. Beberapa pertanyaan penting untuk menilai persoalan
hak-hak korban adalah mengenai status korban yang perkaranya tidak terbukti bahwa
terdapat pelanggaran HAM yang berat. Masalah lainnya adalah pemberian
kompensasi yang “seolah-olah” digantungkan pada aspek kesalahan terdakwa.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]