ANALISIS YURIDIS HUBUNGAN DIPLOMATIK DAN KONSULER PEMERINTAH INDONESIA BELANDA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI
Abstract
Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang pula prinsip-prinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Sebagai identitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibukota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalah pahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa. Suatu negara dalam melakukan penyelenggaraan hubungan tersebut memerlukan suatu alat untuk menjalin hubungan dengan negara lainnya yang nantinya berfungsi sebagai penghubung kepentingan antar negara yang diwakili dengan negara penerimanya. Alat penghubung tersebut diwujudkan dengan cara membuka hubungan diplomatik dan menempatkan perwakilan diplomatik negara pengirim pada negara penerima yang terdapat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 13 ayat (1), (2), (3) yang berbunyi:
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Per-wakilan Rakyat.’
Awal mula terjadinya hubungan antara negara Indonesia dan negara Belanda dikarenakan adanya penjajahan terhadap negara Indonesia yang dilakukan Belanda selama 350 tahun. Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan juga dilakukan dengan cara perundingan atau perjuangan diplomasi. Perjuangan diplomasi dilakukan, misalnya dengan melakukan dukungan internasional maupun dengan cara perundingan langsung dengan Belanda.
Perkembangan diplomasi telah membawa perubahan dalam praktik hubungan internasional. Diplomasi dalam sejarahnya bersifat rahasia. Hanya negara yang bersangkutan saja yang boleh mengetahui. Namun, pada akhirnya telah timbul keinginan untuk tidak lagi merahasiakan isi perundingan. Masyarakat dunia lebih condong kepada diplomatic control.
Hukum Internasional adalah keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama yang lain. Kedaulatan telah menjadi persoalan mendasar dalam memahami sifat-sifat negara modern (nasional), maka dibicarakan juga secara luas dalam bidang hukum internasional. Prinsip-prinsip hukum internasional berkenaan dengan masalah yuridiksi territorial menganut beberapa prinsip hukum yang berlaku secara universal.
Subyek hukum Internasional diartikan sebagai setiap pemegang, pemilik, dan atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan atau menurut hukum yang dapat disimpulkan adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan-hubungan hukum. Dalam rangka penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum dan kebiasaan internasional yang merupakan dasar bagi pergaulan dan hubungan antar negara. Dengan demikian, kehadiran suatu peraturan perundang-undangan tentang hubungan luar negeri yang mengatur secara menyeluruh dan terpadu mengenai kegiatan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri menjadi penting, terutama setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi New York tentang Misi-misi Khusus 1969.
Hubungan diplomatik Indonesia Belanda mengalami permasalahan semenjak ditariknya Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Republik Indonesia, Rob Swartbol, yang dijadwalkan akan segera kembali ke Den Haag pasca ditarik pulang oleh pemerintahnya sebagai bentuk protes atas eksekusi mati terhadap Ang Kim Soei pada hari Minggu tanggal 18 Januari 2015 dini hari tadi pukul 00.00 WIB. Belanda merupakan negara yang mengecam tindakan eksekusi mati terhadap dua warga negara mereka, yaitu Ang Kiem Soe, warga negara Belanda. Ang Kiem Soe dieksekusi mati setelah pengadilan di Indonesia memvonis mereka bersalah dalam kasus pengedaran narkotika. Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders menilai eksekusi terhadap warga negara Belanda Ang Kiem Soe, 52 tahun merupakan pengingkaran terhadap martabat dan integritas kemanusiaan. Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders juga mengatakan pihaknya sangat sedih dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepada enam terpidana. Belanda sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan warga negaranya. Upaya tersebut bahkan dilakukan sendiri oleh Raja Belanda King Willem Alexander beserta Perdana Menteri Mark Rutte.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]