dc.description.abstract | Hampir setiap etnik di penjuru Nusantara memiliki budaya khas
tradisional, dan budaya tersebut berhubungan erat dengan sastra lisan. Realitas
menunjukkan bahwa sastra, baik sastra lisan maupun sastra tulis, merupakan salah
satu bentuk ekspresi estetis yang sarat dengan muatan budaya. Dalam kedua
model tersebut terjadi dialektika budaya yang saling mengisi dan saling
melengkapi (Saputra, 2007:1). Sastra ialah ekspresi pikiran dan perasaan manusia,
baik lisan maupun tulis (cetakan), dengan menggunakan bahasa yang indah
menurut konteksnya (Hutomo, 1991:39). Sastra adalah ungkapan perasaan
manusia dengan menggunakan bahasa yang tersusun indah.
Budaya yang berbentuk sastra lisan disebarkan oleh masyarakatnya dari
generasi ke generasi. Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi
kesusastraan warga atau kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan,
dari mulut ke mulut (Hutomo, 1991:1). Menurut Endraswara (2004:150-152) pada
dasarnya manusia adalah homo fabulans, yaitu makhluk yang gemar bercerita atau
bersastra. Hakikat manusia sebagai homo ludens dan homo fabulans sering
mempengaruhi manusia lebih tertarik pada sastra lisan daripada sastra tulis. Di
samping itu, sastra lisan menarik dan unik sehingga biasanya peneliti terhibur.
Dalam sastra lisan ada unsur pelestarian, pengungkapan lisan, dan
pendokumentasian, sehingga peneliti mendapat hiburan kejiwaan ketika
memasuki khazanah sastra lisan. Oleh karena itu, sastra lisan lebih menarik
daripada sastra tulis karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suka
bersastra.
Sastra lisan yang dimiliki setiap etnik di Nusantara berbeda-beda. Menurut
Hutomo (1991:1) sastra lisan memiliki bentuk bermacam-macam, misalnya cerita
rakyat, mantra, puisi, puji-pujian, syair, dan pantun. Ia merupakan warisan budaya
nasional yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa | en_US |