HABITUS DAN PERJUANGAN POSISI MPTK DALAM SENGKETA TANAH DI KEBUN KETAJEK JEMBER
Abstract
Habitus dan Perjuangan Posisi MPTK dalam Sengketa Tanah di Kebun Ketajek
Jember; Didik Saputra, 070910302122; 2007: 120 halaman; Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.
Perkebunan Ketajek merupakan daerah yang secara geografis berada di lereng
selatan Hyang Argopuro, tepat di atas Desa Pakis dan Desa Suci, Kecamatan Panti,
Kabupaten Jember. Di daerah tersebut terjadi konflik antara masyarakat komunitas
Ketajek dengan pihak Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kabupaten Jember.
Kasus ini bermula sejak tahun 1972 ketika secara sepihak pemerintah Kabupaten
Jember merencanakan mengambil alih lahan masyarakat secara sepihak. Berawal dari
kejadian tersebut, terjadilah perlawanan masyarakat Ketajek yang sampai dengan
zaman reformasi penyelesaian kasus tak urung menemukan titik terang.
Di wilayah Ketajek sendiri terdapat suatu kelompok bentukan masyarakat
yang dinamakan MPTK (Masyarakat Pejuang Tanah Ketajek). Kemunculan era
reformasi di tahun 2000 menjadi petanda kelompok MPTK untuk semakin
mengukuhkan perjuangan mengembalikan hak kepemilikan tanah kebun Ketajek
kepada masyarakat. Diantaranya dengan melakukan tuntutan dan tekanan melalui
lobi-lobi ke berbagai instansi atau lembaga, serta ke tokoh-tokoh masyarakat. Begitu
pula dengan aksi demonstrasi dan komunikasi ke berbagai instansi terkait di Jember
seperti Pemda, DPRD, BPN maupun ke KOMNAS HAM, DPR RI, dan BPN pusat.
Sehingga dalam karya tulis ini penulis akan mendeskripsikan dan menganalisis
habitus dan perjuangan posisi kelompok MPTK di Ketajek menggunakan perspektif
Pierre Bourdieu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme generatif Pierre
Bourdieu. Dalam penentuan informan, Bourdieu memperkenalkan apa yang disebut
dengan istilah agen. Pada konteks fenomena di Ketajek, kelompok MPTK sebagai
vii
agen bagi masyarakat yang secara habitus dan modal akan menjadi fokus kajian.
Metode pengumpulan informasi yang digunakan adalah observasi dan wawancara tak
terstruktur untuk memperoleh data primer, serta metode dokumentasi untuk
memperoleh data sekunder. Selanjutnya langkah-langkah analisis data akan dimulai
dengan mengumpulkan, dan menyajikan seluruh data, untuk memisahkan antara data
pokok/primer dan data tambahan/sekunder. Kemudian data yang dipilih akan
dianalisa sesuai dengan alur perspektif yang digunakan. Dan terakhir peneliti dapat
menarik kesimpulan atas segala aspek dari agen kelompok masyarakat.
Pada praktiknya, perjuangan MPTK berpijak dari faktor kesejarahan di mana
tragedi perampasan tanah dilakukan oleh PDP sebagai kepanjangan tangan dari
Pemerintah Daerah. Praktik yang dilakukan MPTK merupakan perjuangan murni
masyarakat Ketajek tanpa pendamping dari pihak luar. Ini untuk lebih membebaskan
arah gerak dan pilihan strategis. Secara politis, masyarakat menggunakan
penyelesaian permasalahan melalui kekuatan hukum agraria. Yakni dengan
mendapatkan SK KINAG 1964 yang melampirkan dokumen nama-nama pemilik
tanah Ketajek. Oleh karenanya masyarakat menggunakan strategi lobi-lobi sebagai
cara untuk mengetuk pintu hati para pemegang kebijakan.
Kemudian untuk merespon kondisi sosio-kultur di masyarakat dan sosiopolitis
di pemerintahan,
MPTK menggunakan
dua pola perjuangan secara “kultural”
dan
“struktural”. Wilayah
kultural merupakan
tempat
konsolidasi dan koordinasi
masyarakat
Ketajek, selain
juga memperkuat
silaturahmi
antara warga pemilik
tanah
Ketajek.
Untuk memperkuat
tataran kultural
tersebut masyarakat
membentuk
perkumpulan
rutin tiap minggunya
yakni istigasah.
Sedangkan wilayah struktural
adalah
membangun
interaksi dengan pihak luar masyarakat
Ketajek, yaitu dengan
membangun
jaringan dengan kelompok masyarakat
serta melakukan
lobi-lobi politik
dengan
DPRD, BPN, dan Pemkab.
Kedua langkah
perjuangan tersebut merupakan
perjuangan posisi yang dilakukan oleh masyarakat Ketajek dan MPTK guna
menentukan posisi tawar mereka.