dc.description.abstract | Profesi hakim adalah suatu kemuliaan, atau profesi hakim adalah suatu officium
nobile (profesi yang terhormat). Perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan, tetapi
juga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat pada putusan pengadilan.Sejalan
dengan hal tersebut, hakim dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary)
diharapkan dapat diwujudkan.Hal tersebut sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas
kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun etika. Untuk itu, diperlukan suatu
institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri, agar terwujud
suatu keadilan yang di idam-idamkan oleh seluruh lapisan masyarakat maka dari itu
perlunya revitalisasi peran hakim agar terciptanya suatu keadilan. Permasalahan dalam
skripsi ini meliputi 2 (dua) hal yaitu ; pertama, bentuk pengawasan hakim dalam upaya
revitalisasi perannya sebagai sistem unsur utama keadilan dalam kekuasaan kehakiman
di Indonesia menurut perundang-undangan yang berlaku dan kedua, kendala-kendala
dalam pengawasan terhadap hakim sebagai upaya revitalisasi peran hakim dalam
kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Kesimpulan penelitian yang diperoleh antara lain adalah, Pertama, Pengawasan
hakim pada dasarnya dapat dilakukan secara internal (dari dalam) dan secara eksternal
(dari luar). Dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, menjelaskan bahwa : Pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Pasal 39 Ayat (2) menegaskan bahwa : Pengawasan internal atas
tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sebagai bentuk pengawasan dari
dalam (internal), segala bentuk pengawasan dari dalam di semua lembaga pengadilan
dikendalikan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Sementara itu bentuk pengawasan
eksternal (dari luar) dalam hal ini dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam menjalankan
fungsinya, Komisi Yudisial berkiblat pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu melakukan pengawasan
xii
eksternal untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.
Kedua, Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
ternyata kewenangan pengawasan eksternal terhadap lembaga kehakiman sangat terbatas
dalam hal pengangkatan calon hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim.
Berbeda dengan Komisi Yudisial di berbagai negara di dunia dimana fungsi sebuah
lembaga independent di luar kehakiman yang bertugas dalam pengawasan hakim diberi
kewenangan penuh, bahkan pengawasan dan pembinaan bukan lagi wewenang
Mahkamah Agung, melainkan oleh lembaga independent tersebut. Hal inilah yang tidak
terjadi di Indonesia, sehingga terjadilah saling tarik menarik kewenangan pengawasan
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan
kekacauan sistem. Selain hambatan tersebut di atas, terjadi kontradiksi dalam ketentuan
yang mengatur pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial. Mengenai ketentuan UndangUndang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, terdapat beberapa kontradiksi
pasal dalam hal tugas dan kewenangan Komisi Yudisial.
Saran yang diberikan bahwa, Keberadaan Komisi Yudisial merupakan kebutuhan
dan konsekuensi logis dari tuntutan kearah pemerintahan yang lebih menjamin
keseimbangan dalam system peradilan di Indonesia, dengan melakukan monitoring yang
intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan masyarakat dengan spektrum
yang seluas-luas nya, sekaligus menjadi mediator antara kekuasaan pemerintah dengan
kekuasaan kehakiman sehingga tidak terintimidasi dari pengaruh kekusaan apapun, dan
meningkatkan tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman baik yang
menyangkut rekrutmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan
kehakiman,serta kemandirian kekuasaan kehakiman dapat terus terjaga terhadap
politisasi perekrutan hakim agung sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945
amandemen ke tiga. Apabila Komisi Yudisial sudah diberi kewenangan untuk
melakukan pengawasan melalui undang–undang yang berlaku, hakim diharapkan agar
berlapang dada dengan kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas, dan mau
membantu kelancaran pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sehingga
keseimbangan antar lembaga tinggi (check and balance) di Negara Indonesia ini dapat
terwujudkan. Demikian halnya dengan pengawasan masyarakat merupakan salah satu
elemen utama dalam pengawasan hakim di Indonesia. | en_US |