dc.description.abstract | Kesimpulan penelitian ini adalah pertimbangan Hakim Mahkamah
Agung menyatakan bahwa terdakwa sebagai justice collaborators tidak tepat
ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Bersama Nomor 04 Tahun 2011
tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama, dan SEMA Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu karena bantuan yang
diberikannya merupakan “setting” dari polisi sebelum ia menjadi tersangka dan
demi rasa keadilan penjatuhan pidana kepada terdakwa di bawah ancaman pidana
minimum khusus dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika tidak bertentangan tujuan pemidanaan tindak pidana
narkotika.
Adapun rekomendasi penulis adalah: pertama, kedepannya diharapkan
agar lembaga yang berwenang harus selektif dalam mengualifikasi seseorang
ketika akan dijadikan justice collaborators. Jadi, untuk menyamakan pandangan
dan persepsi mengenai justice collaborators sebaiknya lembaga penegak hukum
membuat peraturan perundang-undangan baru yang mengatur secara spesifik
mengenai justice collaborators atau paling tidak diharapkan segera
menyempurnakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban demi menjamin perlindungan hukum bagi justice collaborators
dalam pemberantasan narkotika. Kedua, Hakim seharusnya tidak perlu ragu-ragu
menjatuhkan pidana di bawah minimum khusus terhadap hal yang sifatnya
kasuistis demi keadilan. Selain itu, pada masa yang akan datang Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga perlu memuat aturan pemidanaan
yang dengan rinci mengatur dalam hal apa saja hakim dapat menjatuhkan pidana
di bawah batas ancaman minimum khusus, dengan pengaturan tersebut maka
disamping akan dapat mengakomodir faktor keadilan juga akan menjamin
kepastian hukumnya. | en_US |