KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN MISYAR MENURUT HUKUM ISLAM
Abstract
Salah satu bentuk perkawinan yang ada dan mulai dikenal di masyarakat
adalah istilah perkawinan misyar. Perkawinan misyar adalah sebuah bentuk
perkawinan dimana wanita itu tidak menuntut hak yang sepatutnya diperoleh dalam
perkawinan yaitu nafkah lahir. Wanita tersebut telah mencabut haknya terhadap lakilaki
yang mau menikahinya dan wanita tersebut hanya menuntut nafkah batin saja.
Perkawinan misyar ini biasanya berlaku kepada wanita yang berkedudukan tinggi
atau berharta yang banyak tetapi masih belum kawin karena belum ada laki-laki yang
mau dekati wanita tersebut. Berdasarkan pengamatan penulis, laki-laki bukan tidak
mau memperisteri wanita itu tetapi karena wanita itu lebih berharta dari laki-laki itu.
Jadi, atas dasar faktor itu laki-laki enggan untuk dekati wanita yang kaya.
Rumusan Masalah meliputi : (1) Bagaimanakah status hukum perkawinan
misyar menurut hukum Islam ? (2) Bagaimanakah keabsahan anak dari perkawinan
misyar ? dan (3) Bagaimana pembagian waris dari perkawinan misyar ? Tujuan
umum penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah
wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya hukum perdata. Tujuan
khusus dalam penulisan adalah untuk memahami dan mengetahui : (1) status hukum
perkawinan misyar menurut hukum Islam, (2) keabsahan anak dari perkawinan
misyar dan pembagian waris dari perkawinan misyar. Metode penelitian dalam
penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, artinya
permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan
dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.
Pendekatan masalah menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan
konseptual, dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder
dan bahan non hukum.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Perkawinan misyar
yang juga dikenali sebagai perkawinan musafir. Perkawinan ini bukanlah tipe nikah
yang dianjurkan Islam, tetapi nikah seperti ini diperbolehkan karena adanya desakan
kebutuhan, imbas dan perkembangan masyarakat dan karena berubahnya keadaan
xiii
serta perkembangan zaman, dengan catatan akad nikahnya harus dilaksanakan karena
kalau akad sampai ditiadakan maka nikahnya batal. Perkawinan misyar pada
hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus
memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina. Perkawinan
wanita dalam perkawinan misyar bila ditinjau dari hukum perkawinan adalah wajib
jika ia bertujuan positif. Perkawinan misyar dilakukan di bawah tangan atau sudah
memenuhi rukun dan syarat dalam perkawinan dalam hukum Islam namun tidak
dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum perkawinan dalam
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan demikian pula dengan anak
yang dilahirkan adalah tidak sah secara hukum walaupun sah perkawinannya
menurut agama Islam. Dari keabsahan perkawinan misyar berikut keabsahan anak
dari perkawinan misyar, tentunya anak dari hasil perkawinan misyar berhak
memperoleh harta warisan dari kedua orang tuanya karena ia adalah anak kandung
dari hubungan suami istri dalam perkawinan tersebut. Sama halnya dengan anak
dalam hukum perkawinan Islam bahwa anak perempuan bila hanya seorang ia
mendapatkan separuh bagian. Bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama
mendapatkan dua pertiga bagian dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan
anak laki-laki maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.
Saran yang dapat diberikan bahwa hendaknya perkawinan misyar dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam hukum perkawinan namun dengan tujuan yang
baik dan positif, karena dasar hukumnya adalah ijtihad ulama. Sebagaimana yang
telah disepakati para ulama bahwa sumber hukum adalah Al-Qur'an, al-Hadist, ijma,
qiyas. Keempat sumber hukum tersebut diberlakukan secara berurutan dari yang
pertama sampai yang terakhir.Perkawinan misyar merupakan fenomena baru dalam
perkawinan, sehingga diperlukan ijtihad yang baru pula. Sebagaimana telah
diuraikan di atas bahwa menurut Yusuf Qardhawi kawin misyar dibolehkan dengan
syarat utamanya adanya kerelaan dari pihak istri untuk melepaskan sebagian haknya
dari pihak suami. Dengan demikian, masih perlu ada perbaikan terhadap ijtihad
tersebut sehingga perkawinan misyar tidak disalahgunakan untuk tujuan yang negatif
dalalam kehidupan bermasyarakat.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]