ASPEK HUKUM BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN
Abstract
Negara Indonesia merupakan suatu Negara yang sedang membangun
(developing country). Pembangunan yang dilakukan Indonesia saat ini tidak hanya
pembangunan yang berskala kecil saja, melainkan pembangunan berskala besar yang
membutuhkan dana yang sangat besar. Oleh karena itu perlu adanya peran serta
partisipasi dari pihak swasta untuk bekerjasama dalam pembangunan dengan cara
menerapkan perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem Build Operate and
Transfer (BOT) yakni pemerintah menyediakan lahan, sedangkan pihak swasta
menyiapkan modal dan hasil dari pembangunan itu akan dinikmati oleh pihak swasta
selama kurun waktu yang telah diperjanjikan, apabila jangka waktu tersebut telah
habis maka bangunan itu diserahkan kembali kepada pemerintah selaku pemilik lahan.
Apabila sudah disepakati mengenai perjanjian tersebut, maka para pihak wajib
melaksanakannya agar tidak timbul wanprestasi dalam perjanjian tersebut. Apabila
muncul wanprestasi, maka dalam perjanjian harus mencantumkan penyelesaian
sengketa yang diakibatnkan oleh adanya wanprestasi. Berdasarkan uraian diatas,
diajukan skripsi dengan judul : “ASPEK HUKUM BUILD OPERATE AND
TRANSFER (BOT) DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN”.
Rumusan masalah dalam skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) hal, yaitu pertama,
bagaimana pengaturan perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem Build
Operate And Transfer (BOT); kedua, apakah akibat hukum wanprestasi terhadap
perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem Build Operate And Transfer (BOT);
ketiga, apakah upaya penyelesaian jika terjadi wanprestasi dalam perjanjian
pemborongan bangunan dengan sistem Build Operate And Transfer (BOT) .
Tujuan khusus adalah menjawab rumusan masalah yang ada dalam skripsi ini,
yaitu pertama menjelaskan tentang pengaturan perjanjian pemborongan bangunan
dengan sistem Build Operate And Transfer (BOT); kedua menjelaskan tentang akibat
hukum wanprestasi terhadap perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem Build
Operate And Transfer (BOT); ketiga menjelaskan tentang upaya penyelesaian jika
xiii
terjadi wanprestasi dalam perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem Build
Operate And Transfer (BOT) .
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis
normatif yang difokuskan untuk mengkaji kaidah dan norma-norma yang berlaku
dalam hukum positif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan undangundang
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Analisa
bahan hukum yang digunakan ialah dengan metode deduktif yakni, berpedoman dari
prinsip-prinsip dasar kemudian menghadirkan objek yang hendak diteliti, jadi bergerak
dari prinsip-prinsip umum menjadi prinsip-prinsip khusus, kemudian ditarik suatu
kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini.
Pemborongan bangunan secara umum diatur dalam pasal 1601 huruf b
KUHPerdata dimana dalam pasal tersebut menjelaskan mengenai pemborongan
pekerjaan, dan perjanjian pemborongan bangunan secara khusus diatur dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun1999 tentang Jasa Konstruksi yaitu pasal 1 ayat (5) yang
menjelaskan mengenai pengertian jasa konstruksi dan juga pasal 22 yang menjelaskan
mengenai ketentuan mengenai standart kontrak dalam perjanjian pemborongan
bangunan. Mengenai BOT, secara umum diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata.
Sedangkan secara khusus BOT diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana
yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara-Daerah pasal 1 ayat (12) tentang pengertian dan
pasal pasal 29 yang mengatur mengenai jangka waktu BOT. Wanprestasi secara umum
dapat terjadi apabila para pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Wanprestasi dapat
dilakukan oleh pemerintah dan investor. Karena salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya, maka kreditur dapat menuntut debitur sesuai pasal 1267 KUHPerdata.
Penyelesaian sengketa dalam perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem BOT
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan isi
perjanjian. Penyelesaian sengketa perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem
xiv
BOT di luar pengadilan biasanya menggunakan arbitrase. Untuk sengketa yang
melibatkan investor asing, maka penyelesaiannya harus tunduk pada hukum di
Indonesia yaitu melalui pengadilan maupun melalui arbitrase di Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI).
Saran yang diberikan adalah pertama, hendaknya pemerintah membuat Undang-
Undang mengenai kerja sama dengan sistem BOT sebagai pedoman dalam melakukan
perjanjian dengan sistem BOT sehingga mempunyai landasan yang kuat untuk
dipergunakan; kedua, hendaknya pemerintah mengubah Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dengan menambahkan aturan yang jelas
mengenai tuntutan yang dapat dilakukan oleh pihak kreditur sehingga pihak kreditur
tidak berpedoman pada pasal 1267 KUHPerdata tetapi juga pada Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi setelah Undang-Undang diubah
dengan tuntutan yang dapat dilakukan kreditur kepada debitur yang melakukan
wanprestasi; dan mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi karena dalam Undang-Undang tersebut tidak diatur secara jelas mengenai
cara penyelesaian sengketa pemborongan bangunan yang melibatkan investor asing.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]