dc.description.abstract | Arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa perdata diluar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada beberapa cara dalam hal
terbentuknya kesepakatan terkait dengan penyelesaian melalui arbitrase salah
satunya dalam bentuk pactum de compromitendo yaitu suatu perjanjian arbitrase
yang dicantumkan dalam klausul-klausul perjanjian pokok bentuk ini biasa
disebut dengan klausula arbitrase, klausula arbitrase yang mencantumkan
kehendak para pihak yang menunjuk arbitrase ad-hoc untuk memeriksa dan
memutus sengketa yang kelak mungkin akan terjadi dikemudian hari tidak
mendapatkan pengaturan khusus didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terkait kewenangan yang
dimiliki oleh arbiter ad-hoc dalam memeriksa dan memutus sengketa yang
diajukan kepadanya. Oleh karena hal tersebut dalam penelitian skripsi ini penulis
mengangkat dua permasalahan pertama, apakah Klausula arbitrase suatu
perjanjian dapat menentukan kewenangan arbiter ad-hoc memeriksa dan memutus
sengketa?; Kedua, apakah arbitrase ad-hoc hanya berwenang memeriksa dan
memutus sengketa dibidang perdagangan/komersial?. Adapun tujuan umum dari
penelitian skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan akademis dalam
memperoleh gelar sarjana hukum dan tujuan khusus untuk menjawab
permasalahan sebagaimana diuraikan diatas.
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif dimana pendekatan masalah yang
penulis gunakan adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Dengan diikuti bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum yang kemudian dianalisis
secara deduktif dengan mengambil kesimpulan dari pembahasan mengenai
permasalahan yang bersifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus.
Hasil dari penelitian terkait permasalahan yang pertama penulis
menemukan bahwa Pasal 3 Juncto Pasal 11 Ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa
kewenangan arbitrase ad-hoc memeriksa dan memutus sengketa mutlak dan lahir
dari klausula arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa, namun hal
tersebut tidak serta merta memberikan wewenang kepada arbiter atau majelis
arbiter ad-hoc dalam memeriksa dan memutus sengketa. Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah
mengatur mekanisme yang perlu dilalui sebelum arbiter benar-benar berwenang
untuk memeriksa dan memutus sengketa yang ditujukan padanya. Terlebih dahulu
para pihak yang bersengketa mengajukan permohonan penunjukan sebagai arbiter
dan arbiter yang bersangkutan harus mengirimkan pemberitahuan terkait
penerimaan atas penunjukan dirinya sebagai arbiter. Disebutkan dalam Pasal 17
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, penerimaan ini melahirkan perjanjian perdata bagi kedua
belah pihak yaitu disatu pihak adalah para pihak yang bersengketa dan pihak lain
adalah arbiter ad-hoc yang menerima penunjukan dari para pihak yang berselisih
paham atau bersengketa. Perjanjian inilah yang kemudian melahirkan kewenangan
xiii
bagi arbiter untuk memeriksa dan memutus sengketa yang diajukan kepada arbiter
yang bersangkutan. Kewenangan tersebut menentukan tugas arbiter ad-hoc, yaitu
arbiter wajib memeriksa dan mumutus sengketa yang diajukan kepadanya
berdasarkan waktu yang telah disepakati antara para pihak yang bersengketa dan
arbiter atau majelis arbiter.
Terkait dengan permasalahan yang kedua, Ruang lingkup sengketa
dibidang perdagangan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 5 Ayat (1)
dikaitkan dengan Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa meliputi perniagaan,
perbankan/keuangan, penanaman modal, industri dan Hak kekayaan intelektual.
Pasal tersebut menjelaskan tentang ruang lingkup hukum perdagangan terhadap
putusan arbitrase internasional yang dapat diberlakukan di Indonesia. Pasal 66
huruf b dapat dilihat sebagai pembatasan atas putusan arbitrase asing yang dapat
diberlakukan di Indonesia. Pembatasan tersebut sesuai dengan apa yang diatur
dalam Pasal 1 Ayat (3) Konvensi New York 1958, konvensi tersebut memberi hak
kepada setiap Negara yang ikut meratifikasi konvensi ini (Contracting State)
untuk membatasi sepanjang perselisihan dibidang hukum tertentu., tidak
diperkenankan dan dianggap batal demi hukum setiap putusan arbitrase mengenai
penghibahan, hibah wasiat, nafkah, perceraian, kedudukan hukum seseorang dan
mengenai hal-hal sengketa yang oleh ketentuan Undang-Undang tidak dibolehkan
mengadakan perdamaian.
Penulis juga sampaikan saran-saran terkait dengan hasil temuan-temuan
dalam penelitian skripsi ini. Pertama, Hendaknya Arbiter ad-hoc dalam
menerapkan kewenangannya terlebih dahulu mengkaji secara mendalam pasalpasal
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan mengkaitkannya dengan konvensi-konvensi
internasional yang sedang berkembang terkait dengan arbitrase. Selain untuk
menghindari adanya kesalahan dalam penafsiran terkait penerapan hukumnya hal
ini juga memberikan kepastian hukum atas segala tindakan yang dilakukan oleh
para arbiter dalam melaksanakan tugasnya memeriksa dan memutus sengketa
yang diajukan kepadanya. Kedua, hendaknya ketentuan Pasal 5 Ayat (1) yang
mengatur mengenai kompetensi absolut arbitrase baik dalam bentuk ad-hoc
maupun institusional diberikan penjelasan resmi yang menerangkan ruang lingkup
perdagangan apa saja yang menjadi kewenangan arbitrase memeriksa dan
memutus sengketa. Hal ini perlu untuk menghindari adanya kesalahan dalam
penafsiran dan penerapan hukum yang dapat berujung pada ketidakpastian
hukum. | en_US |