dc.description.abstract | Ketentuan pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa perkawinan yang telah
dilakukan itu harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hokum dimata negara.
Ketentuan yang diatur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1)
tentang perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Pada kenyatannya apabila didalam suatu
perkawinan suami istri yang mulanya beragama Non-muslim kemudian berpindah
agama menjadi seorang Muslim, yang kemudian keduanya sekaligus ingin
memperbarui perkawinannya secara hukum Islam guna kepastian hokum kepada
agama baru yang mereka yakini. Menurut pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan
perkawinan. Berdasarkan uraian diatas penulis mengangkat berbagai permasalahan
yang timbul menjadi suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul
“PEMBAHARUAN PERKAWINAN SUAMI ISTRI YANG MENJADI MUALLAF
MENURUT HUKUM ISLAM”.
Rumusan masalah dalam skripsi ini terdiri dari3 (tiga) permasalahan yaitu
Pertama, bagaimana keabsahan perkawinan suami istri yang menjadi muallaf
menurut Hukum Islam. Kedua, bagaimana status hokum anak sebelum diadakan
pembaharuan perkawinan suami istri yang menjadi muallaf menurut Hukum Islam.
Ketiga, bagaimana pengaturan hak waris anak setelah pembaharuan perkawinan.
Metodologi Penelitian dalam skripsi ini terdiri dari tipe penelitian, pendekatan
masalah, sumber bahan hukum, dan analisis bahan hukum. Penulisan skripsi ini
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan 2 (dua) model
pendekatan masalah yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan
pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Sedangkan sumber bahan hukum
yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hokum sekunder, dan bahan
non hukum.
Kesimpulan yang didapat dari penulisan skripsi ini yaitu Pertama,
pembaharuan nikah dilakukan karena masuk Islam, sehingga jelas bahwa perkawinan
yang dilakukan oleh pasangan suami istri sebelum masuk Islam itu menjadi fasid
atau batal setelah keduanya masuk Islam menurut hukum Islam. Adapun penyebab
fasid atau batalnya perkawinan tersebut karena tidak memenuhi syarat-syarat dan
rukun-rukun perkawinan Islam. Dalam hukum Islam ditetapkan bahwa agar
perkawinan antara suami-istri sah menurut Islam dan adanya kepastian hukum, harus
dilakukan pembaharuan nikah secara Islam. perkawinan yang telah dilaksanakan
suami-istri menurut agama bukan Islam itu tetap sah, karena kedua mempelai saat itu
masih beragama Kristen. Namun setelah pasangan suami-istri masuk Islam,
perkawinan pertamanya menjadi tidak sah menurut hukum perkawinan Islam. Oleh
karena itu, untuk menjadikan sahnya perkawinan atas pasangan suami-istri.Kedua,
Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1)
disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing
agamanya dan kepercayaannya itu.” Dengan demikian, perkawinan yang
xiii
sudah dilakukan oleh pasangan suami-istri yang non-muslim, hukum asalnya adalah
sah. Perkawinan yang pertama (semasih masih beragama Kristen misalnya) itu tetap
sah. Begitu pula, anak yang dilahirkan sebelum adanya pembaharuan nikah karena
masuk Islam itu tetap sah, dan mempunyai hubungan nasab dengan kedua orang
tuanya. Ketiga, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/Ag/1999 Tentang
Sengketa Waris Yang Beda Agama. Orang tua muallaf juga bisa memberikan harta
peninggalannya kepada anak-anaknya baik yang muslim ataupun non muslim sesuai
dengan tata cara islam. Karena sekalipun anak yang berbeda agama menjadi
penghalang untuk menerima warisan tetapi ia berhak menerima hadiah, hibah atupun
wasiat wajibah sebesar 1/3 harta peninnggalan. Saran yang dapat penulis
sumbangkan dalam skripsi ini adalah Pertama, Sebaiknya pernikahan tersebut
haruslah dilakukan pembaharuan atau nikah ulang secara syariat Islam karena setelah
dilakukan pembaharuan nikah, akibat hukumnya bukan hanya hal-hal yang
menyangkut kekerabatan, kewarisan, perwalian, maupun tertib administrasi,
melainkan yang lebih penting lagi yaitu akibat hukum dalam aspek ketauhidan dan
peribadatan kepada Allah S.W.T. Kedua, Pemerintah sebaiknya membuat perubahan
dalam Kompilasi Hukum Islam untuk mengatur tentang perkawinan para muallaf
sehingga jelas apa yang harus dilaksanakan untuk keabsahan pernikahannya, dan
menjadi jelas pula terhadap hukum-hukum ahli warisnya dikemudian hari. | en_US |