ANALISIS YURIDIS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PONDASI DI ATAS TANAH HAK SEWA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN (Kajian Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 410 K / Pdt / 2012 )
Abstract
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 410 K / Pdt / 2012, berasal dari
gugatan wanprestasi dari perjanjian jual beli pondasi di atas tanah hak sewa
dengan akta di bawah tangan. Isu hukum yang dapat diangkat disini adalah
seputar somasi yang berisikan syarat batal dengan acaman batal demi hukum,
karena terjadinya wanprestasi pada pelaksanaan perjanjian tersebut. Dari adanya
wanprestasi tersebut Mahkamah Agung memutuskan batalnya perjanjian antara
para pihak yang mana amar putusannya melebihi dari tuntutan para pihak dalam
gugatan, serta gugat rekonvensi yang diajukan.
Berdasarkan dari uraian diatas, maka akan diteliti lebih lanjut dalam
sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul: “Analisis Yuridis
Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Pondasi Di Atas Tanah Hak Sewa
Dengan Akta Di Bawah Tangan (Kajian Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 410 K / Pdt / 2012)“. Rumusan masalah yang dikemukakan dalam skripsi
ini adalah Pertama; Apakah somasi yang memuat syarat batal mengakibatkan
perjanjian jual beli pondasi di atas tanah hak sewa dengan akta di bawah tangan
batal demi hukum? Kedua; Apakah akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian
jual beli pondasi di atas tanah hak sewa dengan akta di bawah tangan? Ketiga;
Apakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 410 K / Pdt / 2012, telah sesuai dengan hukum yang berlaku?
Skripsi ini memiliki tujuan yang terbagi antara tujuan umum serta tujuan
khusus. Tujuan umum ialah memenuhi syarat akademis penulis untuk dapat
menyelesaikan pendidikan S1 dan menyandang gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Jember. Tujuan khusus ialah mengetahui dan memahami
Ratio Decidendi (pertimbangan hakim) dalam putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 410 K / Pdt / 2012. Metode yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah
metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif ) atau legal research.
Pendekatan masalah yang diguanakan adalah pendekatan undang - undang
(statute approach), studi kasus (Case Study) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) sebagai pendekatan masalahnya. Selanjutnya bahan hukum
yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Hasil analisis tersebut
menggunakan metode yang terarah dan sistematis dan akhirnya dapat ditarik
kesimpulan yang memberikan solusi yang bersifat kongkrit.
Kesimpulan dari skripsi ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Syarat batal
merupakan suatu syarat yang dapat dimuat pada klausula perjanjian. Somasi tidak
boleh memuat syarat batal perjanjian, sebab syarat batal hanya terdapat pada
klausula perjanjian dengan kesepakatan para pihak. Pasal 1266 KUH Perdata
mengatur syarat batal perjanjian tidak mengakibatkan batal demi hukum (nietig),
tetapi pembatalan perjanjian (vernietigbaar) dengan dimintakan kepada hakim
(putusan pengadilan). Perjanjian yang dibuat para pihak tidak batal demi hukum
karena terdapat somasi yang memuat syarat batal perjanjian didalamnya. Somasi
merupakan surat peringatan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat, kecuali
pada pihaknya sendiri.
Akibat dari wanprestasi yang terjadi pada perjanjian jual beli pondasi di
atas tanah hak sewa dengan akta di bawah tangan, dapat dilakukan penyelesaian
xii
dengan memintakan: hak pemenuhan perjanjian, atau ganti rugi, atau pembubaran
perjanjian, atau pemenuhan perjanjian beserta ganti rugi pelengkap, atau
pembubaran perjanjian disertai ganti rugi pelengkap.
Pertimbangan hukum hakim menyatakan jual beli antara pengugat dan
tergugat belum terjadi, pernyataan ini tidak sesuai dengan pasal 1458 KUH
Perdata. Pasal 1458 KUH Perdata mengatur terjadinya suatu perjanjian setelah
adanya kesepakatan tentang kebendaan dan harganya, meskipun harganya belum
di bayar serta barangnya belum diserahkan. Para pihak telah menyepakati
mengenai harga dan tertulis pada klausula perjanjian, maka perjanjian tersebut
telah terjadi. Dalam pertimbangan majelis hakim menyatakan pihak penjual harus
mengembalikan “pembayaran tahap pertama”. Kedua belah pihak selaku
penggugat dan tergugat tidak pernah menuntutkan “pengembalian pembayaran
tahap pertama”. Maka pertimbangan tersebut menjadi dasar penjatuhan putusan
yang tidak dimintakan oleh pihak penggugat dan tergugat atau meluluskan lebih
dari pada yang diminta (ultra petita). Pertimbangan majelis hakim tersebut telah
melanggar pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR.
Saran yang untuk akan datang, hendaknya untuk menghindari kesalahan
dalam pembuatan perjanjian dapat dilakukan pembuatan perjanjian, secara
otentik dengan dibuat dihadapan pejabat umum / notaris. Begitu juga apabila
terjadi wanprestasi pada pelaksanaan perjanjian, dapat diselesaikan dengan
langkah sesuai aturan hukum dengan cara berkonsultasi atau dibantu oleh pejabat
umum / notaris.
Hendaknya wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian dapat diselesaikan
dengan cara perdamaian secara non litigasi ataupun dengan mengajukan tuntutan
– tuntutan melalui gugatan pada pengadilan. Tuntutan atau petitum hendaknya
harus konsisten dalam proses persidangan, sehingga putusan pengadilan dapat
maksimal memenuhi petitum dalam gugatan.
Hendaknya lembaga peradilan dalam memeriksa perkara harus berkiblat
kepada undang – undang, jika undang – undang tidak mengatur barulah hakim
dapat melihat hukum tidak tertulis atau nilai – nilai yang terdapat dalam
masyarakat. Hakim paling utama mencermati isi perjanjian yang dibuat oleh para
pihak, karena perjanjian tersebut berlaku sebagai undang – undang bagi para
pihak yang membuatnya
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]