ANALISIS YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERLANJUT (Putusan Nomor : 79/Pid.Sus/2011/PT.SBY)
Abstract
Latar belakang skripsi ini adalah maraknya tindak pidana korupsi
dikalangan masyarakat atas dan menengah kebawah yang pada dasarnya tindak
pidana korupsi sudah menjadi kejahatan internasional dan merupakan kejahatan
yang fenomenal dimana tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat. Penjatuhan pidana terhadap pelaku perkara tindak pidana korupsi
telah diatur dalam UUPTK. Majelis hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku perkara korupsi diharapkan lebih berhati-hati dan mempunyai
pertimbangan yang matang dikarenakan kejahatan korupsi bersifat extra ordinary
crime. Hakim harus mempertimbangkan tepat tidaknya mengambil putusan
pidana bersyarat pada tindak pidana korupsi secara berlanjut karena hal tersebut
tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi serta tidak bisa
memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
Permasalahan yang diangkat adalah, pertama apakah putusan Pengadilan
Tinggi memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri dalam penjatuhan pidana
bersyarat sudah sesuai dengan ketentuan pemidanaan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
kedua, apa yang seyogyanya menjadi kebijakan hukum pidana terkait penjatuhan
pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Tujuan penulisan ialah
untuk menganalisis putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang memperbaiki
putusan Pengadilan Negeri Nganjuk dalam menjatuhkan pidana bersyarat menurut
ketentuan pemidanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan untuk mengupayakan
kebijakan hukum pidana yang akan datang terkait penjatuhan pidana bersyarat
terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif, pendekatan
masalah menggunakan pendekatan Undang-undang (statue approach), Studi
Kasus (case studi) dan Pendekatan Konsep (conceptual approach). Untuk itu
sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
xiii
Kesimpulan dari penulis ini merupakan inti jawaban dari apa yang telah
diuraikan dalam pembahasan. Pertama, putusan Pengadilan Tinggi Nomor:
79/Pid.Sus/2010/PT.SBY yang memperbaiki penjatuhan pidana
bersyarat/percobaan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (;ima puluh juta rupiah)
dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor: 389/Pid.Sus/2010/PN.Ngjk menjadi
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) pada prinsipnya sudah sesuai dengan ketentuan pemidanaan UUPTPK
karena tidak menyalahi ketentuan batas minimum umum. Demikian pula
penjatuhan secara komulatif 2 (dua) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan
denda juga tidak bertentangan dengan penerapan sistem komulatif alternatif pada
Pasal 3 UUPTPK. Kedua, Kebijakan hukum pidana yang akan datang terkait
penjatuhan pidana bersyarat selain harus mempertimbangkan aspek rehabilitasi
bagi pelaku tindak pidana korupsi juga harus mempertimbangkan prevensi khusus
dan prevensi umum. Adapun alternatif kebijakan penjatuhan pidana bersyarat
yang tepat menurut penulis yaitu pertama, pidana bersyarat dapat dijatuhkan
apabila terdakwa melanggar peraturan UUPTPK selain dalam Pasal 2 (dua) dan
Pasal 3 (tiga) UUPTPK; kedua, penjatuhan pidana bersyarat harus dijatuhkan
bersamaan dengan kerja sosial, sekurang-kurangnya yaitu ½ dari pidana yang
dijatuhkan, serta dilakukan pengawasan yang ketat terhadap terpidana tindak
pidana korupsi; ketiga, penjatuhan pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila
terpidana sudah mengganti kerugian negara atas tindak pidana korupsi yang
ditimbulkannya; keempat, penjatuhan pidana bersyarat tidak dijatuhkan pada
residivis pelaku tindak pidana korupsi.
Adapun saran dari penulis yaitu, pertama agar sejalan dengan karakteristik
tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime, seyogyanya pemidanaan
dijatuhkan semaksimal mungkin demi mencapai keadilan bagi masyarakat dan
agar tidak bertentangan dengan ketentuan UUPTPK. Kedua Kebijakan formulasi
penjatuhan pidana bersyarat seyogyanya pemidanaan dijatuhkan semaksimal
mungkin demi mencapai prevensi khusus dan prevensi umum dari tujuan
pemidanaan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6257]