KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA ORANG TUANYA MEMILIKI HUBUNGAN DARAH
Abstract
Perkawinan dalam rangka membentuk rumah tangga sebagai salah satu
unsur masyarakat pada mulanya di atur dalam berbagai peraturan. Dalam masa
pluralisme hukum perkawinan, pengaturan didasarkan pada perbedaan golongan
penduduk. Ada ketentuan untuk golongan Eropa, golongan Timur Asing (Cina)
dan golongan pribumi/Kristen. Hal ini tentu menciptakan ketidakseragaman dalam
pengaturannya. Oleh karena itu lahirlah Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan. Undangundang
No. 1 Tahun 1974 adalah Undang-undang yang mengatur tentang
perkawinan secara nasional, yang berlaku bagi semua golongan dalam masyarakat
Indonesia. Undang-undang perrkawinan ini adalah suatu unifikasi hukum dalam
Hukum Perkawinan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 dengan
Peraturan Pelaksanaan PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.
Tentang perkawinan diatur dalam buku I KHI, baik mengenai peminangan,
hak dan kewajiban suami istri, pemeliharaan anak, perwalian, dan lain-lain.
Selanjutnya dalam hal pembatalan perkawinan ini telah diatur oleh Undangundang
perkawinan
(UUP)
dan
Kompilasi
Hukum
Islam
(KHI).
Adanya
peraturan
mengenai
pembatalan perkawinan ini selain dimaksudkan untuk penyempurnaan
pengaturan ketentuan perkawinan juga untuk mengantisipasi kemungkinankemungkinan
yang
timbul
dikemudian
hari.
Seperti
halnya
perceraian,
pembatalan
perkawinan
ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan
masalah perceraian, dalam kaitannya dalam perkawinan antara dua orang yang
mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai pada derajat tertentu
adalah suatu hal yang bisa mengancam kelangsungan perkawinannya tersebut.
Hal tersebut diatas juga turut mempengaruhi status dari anak yang
dilahirkan, apakah memang anak dari perkawinan yang demikian harus dianggap
sah dari perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah. Bertitik
tolak dari hal tersebut diatas, maka peneliti masih melihat adanya permasalahan
tentang kedudukan anak akibat batalnya perkawinan orang tuanya.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan cara
mengkaji aturan hukum seperti Undang-undang, peraturan-peraturan dan literaturliteratur
yang berisi konsep-konsep teoritis yang dihubungkan dengan
permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian,
penelitian skripsi ini bersifat yuridis normatif. Bahan yang dipakai adalah bahan
hukum primer dan sekunder. Analisa bahan hukum bersifat deduktif.
Hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kedudukan
hukum anak akibat pembatalan perkawinan terhadap perkawinan sedarah menurut
hukum Islam adalah anak luar kawin yang tergolong Syubhat yang dilahirkan dari
suatu akad, ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya
saja. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-undang khusus
mengatur kedudukan anak luar kawin belum dibentuk maka untuk memperoleh
hak keperdataan dengan bapaknya harus melalui pengakuan anak. Tetapi Undangundang
mengecualikan pengakuan bagi anak hasil perkawinan sedarah. Untuk
mengisi kekosongan hukum dan demi kepentingan si anak maka sesuai ketentuan
Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
anak tersebut dianggap sebagai anak sah.
Saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah hendaknya kita
memperhatikan (secara personal) sebelum melangsungkan perkawinan terhadap
indikasi atau apapun yang kiranya dapat membatalkan perkawinan. Hal ini
bertujuan sebagai tindakan hati-hati dan juga untuk membangun keluarga yang
sakinah, mawahdah, dan warahmah serta perlu pengaturan tersendiri bagi anak
hasil perkawinan sedarah karena mengenai hal ini adalah lebih spesifik dan
berbeda dari masalah pembatalan perkawinan karena kurangnya syarat-syarat
pada umumnya. Hal ini penting untuk mengetahui hak dan kewajiban yang jelas
antara anak dan orang tuanya.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]