PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA TRANSAKSI ELEKTRONIK COMMERCE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Abstract
Sifat internet yang borderless atau tidak mengenal batas menyebabkan
perkembangan transaksi e-commerce sangatlah pesat, hal ini dikarenakan dalam
transaksi perdagangan melalui media internet tidak mengenal adanya batas negara
atau batas teritorial. Dengan menggunakan model transaksi e-commerce dapat
memudahkan para pemakainya untuk saling berhubungan satu sama lain tanpa
perlu khawatir mengenai pennasalalian biaya karena dengan menggunakan
internet akan lebih efektif dan efisien.
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce
menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi.
Dampak dan adanya perikatan tersebut adalah timbulnya hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Di dalam hukum perikatan Indonesia
dikenal apa yang disebut dengan ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan tersebut
tersedia untuk digunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila
ternyata perjanjian yang dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau
belum mengatur sesuatu hal.
Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi
jual beli modern yang menggunakan inovasi teknologi seperti internet sebagai
media transaksinya. Namun transaksi e-commerce berbeda dengan transaksi
perdagangan konvensional yang diatur dalam KUHPerdata yang bersifat
langsung, saling bertatap muka atau face to face, hal ini disebabkan karena
transaksi e-commerce ini berlangsung di dunia maya atau cyber space.
Asas yang berlaku dalam dunia e-commerce sama halnya dengan asas-asas
yang berlaku dalam kontrak dagang tradisional, yang menjadi pembeda adalah
dalam ruang lingkup e-commerce berlaku secara luas dan menyeluruh tanpa
mengenal adanya batas wilayah suatu Negara, sehingga berlaku secara
internasional dan menghilangkan batas-batas Negara yang ada. Oleh karena hal
tersebut dalam e-commerce terdapat asas-asas yang tidak terdapat dalam kontrak
dagang tradisional. Hukum yang berlaku dalam e-commerce pada dasarnya mengacu pada hukum yang dipilih oleh para pihak, baik pilihan hukum secara tegas maupun pilihan hukum secara diam-diam. Jika tidak pilihan hukum dalam transaksi ecommerce
dapat mengacu
pada prestasi
yang
ditimbulkan
oleh para
pihak yang
turut
serta
dalam
transaksi
e-commerce
seperti yang sudah diatur dalam
konverensi
Roma.
Pengaturan hukum dalam transaksi e-commerce adalah menciptakan
tingkat kepastian hukum dan perlindungan terhadapa hak-hak konsumen yang
mempunyai posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pelaku
usaha lainnya dalam transaksi e-commerce. Dalam hal penyelesaian sengketa
yang timbul akibat adanya suatu transaksi e-commerce dapat ditempuh melalui
pengadilan maupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan para pihak yang
terlibat dalam sengketa e-commerce.
Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, para pihak yang
bersengketa menemui berbagai masalah yurisdiksi dan beragamnya legislasi
hukum tiap-tiap Negara di dunia. Dalam penyelesaian sengketa online, konsumen
diberikan suatu pilihan yang lebih menyeluruh dari tindakan yang merugikan
konsumen dalam transaksi e-commerce, sehingga konsumen dapat mendapatkan
haknya sebagai salah satu pelaku usaha dalam dunia transaksi e-commerce.
Dengan adanya kepastian hukum yang dijamin oleh pemerintah melalui
UU ITE, maka ada beberapa asas yang berperan penting dalam transaksi ecommerce
ini.
Jika dilihat dari beberapa aspek
yang ada maka
kita bisa melihat
adanya
beberapa asas dari KUHPerdata yang
juga ada dan dipakai di dalam
Pasal
3
UU ITE yang berbunyi “pemanfaatan
teknologi
informasi
dan transaksi
elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas
kepastian hukum,
manfaat,
kehatihatian,
iktikad
baik, dan kebebasan memilih
teknologi atau netral teknologi”
Dalam transaksi elektronik internasional yang menempatkan konsumen
dalam posisi tawar yang lemah, memerlukan pengaturan hukum. Pengaturan
hukum dalam transaksi elektronik adalah untuk menciptakan tingkat kepastian
yang diperlukan dalam transaksi bisnis dan melindungi konsumen taransaksi
elektronik yang mempunyai posisi tawar yang lemah. Tidak diragukan bahwa
dengan pesatnya transaksi elektronik, pengembangan infrastruktur hukum dan
pengawasan sangat diperlukan. Dengan demikian, mekanisme hukum perlu dikembangkan untuk menjadikan transaksi elektronik efisien dan aman, serta
terbina secara hukum.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen secara umum di Indonesia diatur
dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). UUPK tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan
sengketa konsumen.
Pasal 45 UUPK, menyatakan bahwa konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui peradilan yang berada dalam lingkungan
peradilan umum, bukan ke peradilan tata usaha negara. Dengan demikian
sengketa konsumen dalam hal ini hanya mencakup aspek hukum perdata dan
pidana saja. Berdasarkan uraian di atas dan kaitan-nya dengan hak-hak konsumen
yang tercantum dalam Pasal 4 UUPK, maka dapat diartikan bahwa sengketa
konsumen adalah sengketa yang terjadi antara konsumen sebagai pengguna
barang atau jasa di satu pihak dengan pelaku usaha di pihak lain yang dianggap
telah melanggar hak-hak konsumen.
Dalam hal penyelesaian sengketa setiap pengguna transaksi eloktronik
dapat mengajukan gugatan perdata atas kerugian yang dideritanya, baik dalam
bentuk gugatan individual atau gugatan kelompok (class action). Gugatan perdata
ini dapat diajukan di Pengadilan atau arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya. Hal ini diatur dalam Pasal 38 dan 39 UUITE .
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]