dc.description.abstract | RINGKASAN
Tujuan perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Walaupun demikian adakalanya terjadi
masalah-masalah yang dapat menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan
sehingga perkawinan tersebut terpaksa diputuskan dengan perceraian. Percerain
dalam istilah ilmu fiqh disebut talak atau firqah. Talak berarti membuka ikatan atau
membatalkan perjanjian. Perceraian membawa akibat hukum terputusnya
perkawinan, apabila dalam perkawinan telah di lahirkan anak maka perceraian juga
membawa akibat hukum terhadap si anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara
anak secara bersama-sama untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu
orang tuanya.
Ketentuan hukum Perundang-undangan telah memberikan hak pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz kepada ibunya, akan tetapi dalam hal anak yang belum
mumayyiz itu bisa memilih untuk ikut ayahnya atau ibunya, maka anak diberikan
kesempatan untuk memilih sendiri. Namun sehubungan dengan pemeliharaan anak
sering timbul masalah baru seperti ketika ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak
dibawah umur pindah agama (murtad). Maka ketentuan pembagian hak asuh anak
seperti yang telah datur dalam pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam harus
kembali didiskusikan, seperti yang terjadi pada kasus sengketa hak asuh anak Perkara
Mahkamah Agung RI No 210K/AG/1996. Berdasarkan paparan di atas, dengan ini
penulis tertarik untuk menuangkan permasalahan tersebut dalam sebuah karya tulis
ilmiah skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK
(HADLONAH) DIBAWAH UMUR KARENA SALAH SATU ORANG
TUANYA PINDAH AGAMA SEBAGAI AKIBAT PERCERAIAN (Kajian
Putusan MA RI No.210.K/AG/1996)”.
Adapun permasalahan yang penulis angkat meliputi 2 (dua) hal adalah
pertama, Apakah Pindah Agama dapat Dipergunakan sebagai Alasan penolakan
Memperoleh hak asuh (hadlonah) anak di bawah umur akibat perceraian. Kedua, apa yang menjadi pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Bandung, Pengadilan
Tinggi Bandung, Mahkamah Agung dalam perkara No.210.K/AG/1996.
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini terdiri dari tujuan
umum dan tujuan khusus adalah untuk mengetahui maksud dari permasalahan yang
dibahas. Sedangkan metode penelitian yang digunakan terdiri dari tipe penelitian
yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan
Perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yaitu terdiri dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, sedangkan dalam menganalisis
bahan hukum adalah dengan menggunakan metode deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan akibat hukum dari pindah agama yang
dilakukan ibu setelah terjadinya perceraian dalam perkara No.210.K/AG/1996
berkaitan dengan hak asuh (hadlonah), apabila terjadi sengketa hak asuh (hadlonah)
atas anak tersebut, maka yang paling berhak mendapatkan hak asuh (hadlonah) atas
anak tersebut adalah pihak ayah, dengan pertimbangan bahwa ayah anak tersebut
beragama Islam. Jika setelah perceraian seorang ibu pindah agama (murtad) maka
menjadi gugurlah haknya untuk melakukan pengasuhan/pemeliharaan (hadlonah)
terhadap anaknya yang masih di bawah umur/belum mumayyiz( belum berusia 12 dua
belas) tahun. Pertimbangan aqidah/ agama sebagai kelayakan untuk mengasuh anak
merupakan pertimbangan dari sudut syar’i yang mengedepankan salah satu
maqhosidusy Syar’iyyah (tujuan syari’at Islam) yaitu menjaga keutuhan agama Islam
dengan ditopang oleh beberapa hadits Rasulullah. Latar belakang pemikiran
maqoshidusy syar’i (tujuan disyari’atkannya agama Islam) dalam Putusan Mahkamah
Agung dijelaskan oleh Achmad Djunaeni bahwa masalah aqidah merupakan syarat
untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan
terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz. Atau dalam bahasa Syamsuhadi
Irsyad Mahkamah Agung menempatkan aqidah sebagai ukuran penentu
kelangsungan atas keberlakuan hak hadlonah tersebut atau menjadi gugur karenanya.
Ulama Madzab syafi’i dan Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh haruslah
seorang muslim dan muslimah, karena orang non muslim tidak punya kewenangan
mengasuh dan memimpin orang islam, di samping itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak tersebut masuk kedalam agamanya. Sesuai dengan ayat Al-Quran
Al-Imron terjemahannya: “ Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir jadi wali (pemimpin), bukan orang mukmin, barang siapa berbuat demikian,
bukanlah ia dari (agama) allah sedikitpun, kecuali jika kamu takut kepada mereka
sebenar-benarnya takut; dan Allah mempertakuti kamu dengan dirinya dan kepada
Allah tempat kembali”.
Sejalan dengan kesimpulan di atas sepatutnyalah diharapkan bagi pasangan
yang telah menikah untuk dengan sungguh-sungguh menjaga mahligai perkawinan
dan senantiasa menjaga keharmonisan hubungan keluarga sehingga terhindar dari
masalah-masalah yang menimbulkan perceraian. Karena meskipun Allah SWT
menghalalkan perceraian, akan tetapi perceraian adalah perbuatan yang dimurkai
olehNya. Apabila perceraian tidak dapat dihindarkan lagi hendaknya kedua belah
pihak (suami dan Istri) tetap menjaga keimanannya/ tidak pindah agama. Pindah
agama dapat berdampak terhadap perolehan hak asuh yang ditetapkan oleh
pengadilan. Kompilasi Hukum Islam menetapkan pengasuhan atas anak dibawah
umur ada pada salah satu orang tuanya yang beragama Islam dengan tujuan
menyelamatkan kelestarian agama anak tersebut. | en_US |