ANALSISIS KETIDAKADILAN GENDER DALAM NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Abstract
Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer menceritakan pola
kehidupan bangsa ini dengan seeting budaya feodalisme Jawa pada zaman
kolonialisasi Belanda. Perbedaan trah atau tingkatan kasta pada kalangan masyarakat
priyayi yang dikenal dengan keturunan darah biru atau keturunan Kraton Jawa dan
masyarakat biasa.
Gadis Pantai, seorang gadis cantik anak nelayan yang hidup serba kekurangan
di daerah pesisir utara Jawa Tengah. Gadis Pantai dipaksa menuruti permintaan
priyayi dari kota yang terpikat akan kecantikannya untuk menikah dengan seorang
priyayi. Ketidakmampuan Gadis Pantai untuk menolak, serta orang tua Gadis Pantai
yang merasa menjadi sebuah kehormatan apabila bisa menikahkan putrinya dengan
seorang keturunan bangsawan.
Gadis Pantai berumur empat belas tahun, ia lahir dan dibesarkan di
lingkungan kampung nelayan kabupaten Rembang di Jawa Tengah. Hingga suatu
ketika datang utusan dari kota untuk menikahkan Gadis Pantai dengan seorang
pembesar golongan priyayi yang dikenal dengan sebutan Bendoro.
Gadis Pantai pada saat itu masih berumur empat belas tahun dipaksa untuk
menikahi Bendoro oleh kedua orang tuanya. Kekuasaan dan kedudukan Bendoro
menjadikan kedua orang tua Gadis Pantai menuruti kemauan Bendoro. Pernikahan
Gadis Pantai dengan Bendoro tersebut membuat bangga bapak dan ibu Gadis Pantai,
karena anak gadisnya dinikahi oleh seorang pembesar yang mempunyai kedudukan.
Pernikahan Gadis Pantai tersebut juga membuat orang-orang sekitar kampung
nelayan merasa senang dan bangga, karena seorang gadis dari kampung nelayannya
telah menjadi istri seorang pembesar. Setelah menjadi istri seorang bangsawan status
sosialnya telah meningkat yang semula dari rakyat biasa menjadi priyayi dan
akhirnya menjadi apa yang dikenal dengan sebutan Bendoro Putri.