dc.description.abstract | Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia, kekal dan sejahtera baik secara moril maupun materiil. Namun untuk
melangsungkan perkawinan sering kali terdapat suatu rintangan-rintangan. Salah
satunnya adalah orang tua dari calon mempelai wanita yang tidak merestui.
Sedangkan orang tua sebagai wali nikah merupakan salah satu rukun nikah yang
harus dipenuhi. Seperti yang terjadi pada Penetapan Pengadilan Agama Nomor
0126/Pdt.P/2005/PA.Kab.Mlg. Penyebab timbulnya wali Adhal disebabkan
karena orang tua dari calon mempelai wanita tidak merestui dan tidak mau
menjadi wali dalam pernikahannya. Dalam prosesnya di Pengadilan Agama
diperlukan suatu alat bukti yang memadai. Alat bukti tersebut adalah berupa
keterangan para saksi serta yang terpenting adalah surat penolakan perkawinan
yang telah dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama.
Penulis menguraikannya dalam bentuk skripsi dengan judul “SURAT
PENOLAKAN PENDAFTARAN PERKAWINAN OLEH KUA SEBAGAI ALAT
BUKTI TERTULIS UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN PENETAPAN
WALI ADHAL (STUDI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MALANG
NOMOR 0126/Pdt.P/2005/PA.Kab.Mlg)”. Berkaitan dengan hal tersebut diatas
maka tujuan yang juga merupakan suatu permasalahan yang akan diuraikan lebih
lanjut antara lain: untuk mengetahui dan mengkaji dasar hukum penolakan
pendaftaran perkawinan oleh KUA terhadap wali nikah yang enggan (adhal);
untuk mengetahui dan mengkaji surat penolakan perkawinan sebagai alat bukti
tertulis mempunyai kekuatan pembuktian; untuk mengetahui dan mengkaji yang
menjadi pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang
menetapkan seoarang wali nasab dinyatakan adhal sesuai dengan penetapan
perkara nomor 0126/Pdt.P/2005/PA.Kab.Mlg. Tipe penelitian yang digunakan
penulis adalah secara yuridis normative (legal research). Pendekatan masalah
yang digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Sumber bahan hukum terbagi
dalam 3 (tiga) macam, yaitu sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum
sekunder dan bahan non hukum. Kesimpulan yang dapat ditulis dari penulisan skripsi ini ialah pertama
KUA sebagai pegawai pencatat nikah mempunyai hak untuk menolak kehendak
nikah bila terdapat suatu halangan yang menurut undang-undang yang berlaku di
dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Halangan tersebut yaitu mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku melarangnya untuk kawin. Dalam kaitannya tidak memenuhi
salah satu rukun nikah yaitu wali nikah tidak menyetujui kehendak nikah putrinya.
Sehingga mengakibatkan dikeluarkannya surat keterangan tertulis disertai alasan
penolakan oleh KUA. Hal ini tersebut dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974. kedua Surat penolakan pendaftaran perkawinan sebagai alat bukti
tertulis berupa akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian. Hal ini sesuai
dengan penjelasan yang diberikan Bapak Suyono sebagai panitera pengganti di
Pengadilan Agama Kabupaten Malang, tertanggal 25 Oktober 2010, beliau
mengatakan bahwa surat keterangan penolakan perkawinan dari Kepala KUA
merupakan suatu akta otentik yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian. dan
ketiga Pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang terkait
dengan penetapan seorang wali nasab dinyatakan adhal Nomor
0126/Pdt.P/2005/PA.Kab.Mlg. Hakim menggunakan pasal 2 Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1987 Jo. pasal 23 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam sebagai
acuan atau pedoman dalam menyelesaikan perkara wali enggan (adhal) serta
menggunakan doktrin hukum Islam dalam kitab I‟anatut thalibin juz III halaman
319. Bila wali/ ayah pemohon tetap tidak peduli tanpa memberikan alasan tentang
penolakannya maka hakim berhak memutuskan bahwa wali hakim berhak menjadi
wali nikahnya. Dan penetapannya tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
Adapun saran yang penulis sumbangkan adalah sebagai berikut: pertama
Sebaiknya selain mengikuti ketentuan peraturan keputusan Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 477 Tahun 2004 Tentang Pencatatan Nikah,
KUA juga meninjau langsung ke rumah yang bersangkutan untuk memberikan
nasehat dan pengarahan tentang perkawinan. Dengan demikian, diharapkan
timbul suatu kompromi untuk meminimalisir suatu halangan perkawinan
tersebut.; kedua, walaupun undang-undang tidak menjelaskan mengenai kekuatan
penbuktian suatu surat keterangan, kita dapat mengetahuinya dengan mengkaji embali teori-teori mengenai pembuktian. Di sarankan untuk peneliti selanjutnya
dapat lebih mengembangkan mengenai kekuatan pembuktian surat keterangan
penolakan pendaftran perkawinan; dan ketiga sebaiknya pihak pengadilan agama
setelah memutuskan perkara wali adhal kemudian mendamaikan antara pemohon
dengan wali nikahnya. Hal ini dikarenakan jika telah terjadi pernikahan yang
dinikahkan dengan wali hakim, ditakutkan setelah pernikahan tersebut timbul
persepsi buruk kepada anak tersebut. dan membuat hubungan anak dan ayah
menjadi semakin renggan. | en_US |