ANALISIS YURIDIS PENUNDAAN PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA
Abstract
Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan jenis
pidana pokok, yaitu: a. Pidana mati, b. Pidana penjara, c. Kurungan, d. Denda.
Perdebatan tentang pidana mati muncul ketika banyak orang yang mulai
menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai
suatu pemidanaan di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa
alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945
Pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa
hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu
menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya.
Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga
bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya
dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak
terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri
Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970, dan juga kasus yang dialami oleh
terpidana mati Sumiarsih yang sampai 20 tahun hidup dalam penjara dan tetap
menjalani eksekusi mati. Ini sesuatu yang tidak adil. Mereka harus menjalani tiga Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan jenis
pidana pokok, yaitu: a. Pidana mati, b. Pidana penjara, c. Kurungan, d. Denda.
Perdebatan tentang pidana mati muncul ketika banyak orang yang mulai
menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai
suatu pemidanaan di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa
alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945
Pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa
hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu
menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya.
Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga
bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya
dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak
terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri
Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970, dan juga kasus yang dialami oleh
terpidana mati Sumiarsih yang sampai 20 tahun hidup dalam penjara dan tetap
menjalani eksekusi mati. Ini sesuatu yang tidak adil. Mereka harus menjalani tiga pidana yakni pidana mati, pidana penjara selama 39 tahun dan 20 tahun, dan
pidana psikologis. masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang hampir sama
dengan dua kasus tersebut. Adapun permasalahan yang dianalisis pada skripsi ini
berkaitan dengan penundaan pelaksanaan pidana mati, yaitu Apakah penundaan
pelaksanaan pidana mati di Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia
sebagaimana diatur dalam Undang- undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Apakah penundaan pelaksanaan pidana mati, terpidana mati
menjalani dua pidana pokok
Tujuan penulisan skripsi ini yang pertama adalah untuk mengetahui,
mengkaji mengenai penundaan pelaksanaan pidana mati di Indonesia telah sesuai
dengan Hak Asasi Manusia, dan yang kedua adalah untuk mengetahui dan
mengkaji akibat hukum yang timbul dengan adanya penundaan pelaksanaan
pidana mati.
Metode penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan metode
pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang- undangan (statute
approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach).
Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah Secara
yuridis normatif penundaan pelaksanaan pidana mati bertentangan dengan Undang-
Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, sebagaimana diatur dalam dan pasal 3 ayat
(2) yang berbunyi Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
depan hukum. Adanya penundaan pelaksanaan pidana mati menyebabkan terpidana
mati mengalami penderitaan ganda atau lebih dari satu sanksi pidana, hal ini
bertentangan dengan sistem pemidanaan di Indonesia. Untuk menghindari
pelanggaran terhadap terpidana mati maka perlu segera dilaksanakan eksekusi
terhadap terpidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, serta
segera dibuat aturan peraturan perundang- undangan yang pasti tentang
penundaan pelaksanaan pidana mati, atau sebagaimana diatur dalam Rancangan
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana 89 ayat 1, adanya penundaan pelaksanaan
pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila; a. reaksi masyarakat
terhadap terpidana tidak terlalu besar, b terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, c. kedudukan terpidana dalam penyertaan
tindak pidana tidak terlalu penting, dan d. ada alasan yang meringankan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6257]