dc.description.abstract | Perkawinan yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan kini telah
mendapat pengakuan dari negara dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23
tahun 2006 beserta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 37
tahun 2007. Peraturan Perundang-undangan ini merupakan kejelasan dari UndangUndang
Dasar 1945 menyangkut Hak Asasi Manusia
menguraikan secara rinci mengenai hal tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka
penulis tertarik untuk meneliti dan membahasnya lebih lanjut dalam skripsi
dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN PENGHAYAT
KEPERCAYAAN BERDASARKAN PP. NO. 37 TAHUN 2007 DAN UU.
NO. 1 TAHUN 1974.”
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah mengenai sah atau tidakkah
perkawinan yang dilangsungkan oleh para penghayat kepercayaan jika dilihat
menurut segi Hukum Negara, dan apa saja akibat hukum yang ada bila
perkawinan antar sesama penghayat kepercayaan dilangsungkan juga mengenai
lembaga manakah yang diberikan kewenangan untuk mencatat perkawinan yang
dilangsungkan oleh penghayat kepercayaan di Indonesia.
Tujuan penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2
Metode penelitian dalam penyusunan skripsi ini menggunakan pendekatan
normatif, dan pendekatan konseptual, dengan menggunakan bahan hukum primer
yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 1 tahun 1965, Undang-Undang No. 1 tahun 1974, Undang-Undang No. 23 tahun 2006, Peraturan
Pemerintah No. 37 tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun
2010 dan bahan hukum sekunder serta bahan non hukum berupa buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiyah, kamus, makalah dan internet.
Kesimpulan dalam skripsi ini adalah Pertama, perkawinan penghayat
kepercayaan telah sah menurut hukum negara dengan bukti telah dikeluarkannya
peraturan perundang-undangan tentang itu yakni Undang-Undang No. 23 tahun
2006 dan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2007, dan pengertian Pasal 2
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang syarat sahnya perkawinan tetap
digunakan untuk pengertian sah atau tidaknya perkawinan di Indonesia. Kedua,
akibat hukum dilangsungkannya perkawinan oleh penghayat kepercayaan yaitu
adanya hak dan kewajiban suami istri yang wajib ditaati oleh suami dan istri juga
bila perkawinan keduanya tidak sah maka berlaku pasal 43 Undang-Undang no. 1
tahun 1974 yakni anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja.
Ketiga, lembaga yang berwenang mencatat perkawinan bagi penghayat
kepercayaan menurut Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2007 yakni Badan
Kependudukan dan Catatan Sipil setempat.
Saran dalam skripsi ini adalah Pertama, walaupun peraturan mengenai
perkawinan penghayat kepercayaan telah diundangkan akan tetapi masyarakat
masih sulit untuk mencatatkan perkawinannya karena penerapan/sosialisasinya
masih belum menjangkau secara luas. Kedua, dalam melangsungkan perkawinan
penghayat kepercayaan hendaknya mentaati dan menyadari hak dan kewajiban
masing-masing suami istri. | en_US |