VIKTIMISASI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Abstract
Secara umum kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk
perbuatan yang mengakibatkan suatu penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan penelantaran rumah tangga. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
sendiri pada dasarnya telah diatur di dalam hukum pidana positif kita, akan tetapi
dari fakta yang ada dari tahun ke tahun jumlah korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga terus meningkat, korbannya adalah anak-anak dengan usia di
bawah 18 tahun. Undang-Undang Perlindungan Anak telah berlaku hampir 8
tahun akan tetapi belum mampu memberikan perlindungan yang memadai
terhadap anak sebagai korban kejahatan khususnya anak sebagai korban kekerasan
dalam rumah tangga. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk
membahasnya dalam skripsi dengan judul “VIKTIMISASI TERHADAP
ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”
dengan rumusan masalah sebagai berikut: pertama, bagaimanakah perlindungan
hukum bagi anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dalam hukum
positif di Indonesia? kedua, upaya-upaya non penal apakah yang dapat dilakukan
untuk mengatasi viktimisasi terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah
tangga?
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji dan menganalisa
perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan dalam ruamh
tangga dalam hukum pidana positif dan untuk mengkaji dan menganalisa bentuk
upaya-upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak sebagai
korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif,
dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan undangundang
(statute approach). Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan menggunakan analisa bahan
hukum sebagai langkah terakhir.
Kesimpulannya bahwa hukum positif Indonesia pada dasarnya telah
menjamin perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga, meskipun sebagain besar masih bersifat in abstracto dan tidak secara langsung dan konkret terhadap korban. Upaya-upaya
non penal yang tepat dilakukan untuk mengatasi kekerasan terhadap anak yaitu
dapat dilakukan sebelum dan sesudah adanya korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga. Sebelum adanya korban lebih menitik beratkan pada upaya
pencegahan antara lain dengan dengan menumbuhkan minat, perhatian dan
simpati seluruh masyarakat terhadap masalah tindak kekerasan yang di alami oleh
anak. Langkah awal yang dibutuhkan adalah bagaimana menyadarkan bahwa
masalah ini tidak cukup hanya disikapi dengan sekedar belas kasihan kepada anak
yang menjadi korban atau mengutuk keras perlakuan orang tua yang telah tega
menganiaya anaknya sendiri. Sedangkan setelah anak menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga perlu dilakukan perlindungan hukum misalnya dengan
pemberian ganti rugi dalam bentuk kompensasi, restitusi yang diselesaikan diluar
hukum pidana, upaya rehabilitasi, layanan konseling dan pelayanan atau bantuan
medis, bantuan hukum, serta pelayanan kesejahteraan bagi anak. Dalam membuat
undang-undang sebaiknya perumus undang-undang tidak mengabaikan hukum
positif dan hukum internasional yang terkait dengan perlindungan korban
khususnya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Diharapkan kepada
penegak hukum dalam membuat produk hukum khususnya terhadap perlindungan
anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga lebih memperhatikan upayaupaya
perlindungan korban secara in concreto. Dengan demikian anak yang
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bisa memperoleh perlindungan
secara langsung dan konkret . Upaya yang dapat dilakukan terhadap anak sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dilakukan melalui jalur hukum
pidana saja, tetapi dapat juga diselesaikan diluar jalur hukum pidana. Penyelesaian
melalui jalur hukum pidana dan diluar hukum pidana harus dilakukan secara
seimbang agar terjadi kesimbangan dalam upaya melindungi anak sebagai korban
kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pemerintah, penegak hukum,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat harus bekerjasama.
Collections
- UT-Faculty of Law [6257]