Kebijakan Asimilasi Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru Tahun 1966-1998;
Abstract
Kebijakan asimilasi dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru dalam bidang
sosial, budaya dan politik terhadap etnis Tionghoa. Yang ingin diungkap dalam
penelitian ini adalah mengapa pemerintah pada masa Orde Baru menerapkan politik
asimilasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, bagaimanakah implementasi
kebijakan asimilasi terhadap etnis tionghoa dan bagaimana reaksi etnis Tionghoa dan
pribumi menyikapi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru. Tujuan
dan manfaat dari penelitian ini dapat memecahkan masalah yang terdapat pada
rumusan masalah dan memberi manfaat bagi peneliti, masyarakat luas, pemerintah
dan ilmu pengetahuan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
sejarah (Historical Method) yang meliputi heuristik (proses kegiatan mencari dan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah), kritik (kegiatan menyeleksi dan mengkaji
sumber sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya sehingga
menghasilkan fakta sejarah), interpretasi (proses memberikan penafsiran terhadap
hasil pengolahan data yang sudah dipilah/dikritisi) dan historiografi (menuliskan
hasil intrepretasi yang di susun secara kronologis, sistematis dan metodis berdasarkan
sumber yang autentik) dengan menggunakan pendekatan sosiologi politik dan
etnografi serta teori konflik dan integrasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya
kebijakan asimilasi pada masa Orde Baru karena ekslusivisme etnis Tionghoa yang
terbentuk sejak zaman kolonial Belanda dengan jalan, membedakan status sosial
masyarakat, membuat sistem pemukiman, dan sekolah tersendiri. Pada masa
pemerintahan Orde Lama menerapkan kebijakan integrasi dimana etnis Tionghoa
dianggap sebagai salah satu suku di Indonesia, hak etnis Tionghoa sebagai warga negara mendapat perlindungan resmi dari pemerintah. Etnis Tionghoa diberi
kebebasan untuk terjun dalam bidang politik, pendidikan maupun sosial budaya.
Kebebasan yang diberikan rupanya menyebabkan etnis Tionghoa menjelma menjadi
sebuah etnis yang ekslusif, tidak mau berbaur serta diidentifikasi terlibat dengan
gerakan komunis. Supaya proses asimilasi berjalan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan maka serangkaian tindakan dilakukan untuk menghapuskan serta
memperkecil unsur-unsur budaya Tionghoa yang masih ada. Tiga pilar utama yang
menopang masyarakat Tionghoa yaitu sekolah, media cetak dan organisasi
kemasyarakatan etnis Tionghoa dihapuskan secara bersamaan mengakibatkan
identitas budaya maupun politisnya lenyap. Pendirian lembaga seperti Bakom PKB
(Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) dibentuk untuk membantu
pemerintah dalam melaksanakan kebijakan asimilasi. Akibat dari dikeluarkannya
kebijakan asimilasi ini menyebabkan sebagian besar etnis Tionghoa mengikuti arah
kebijakan Orde Baru dengan berkurangnya partisipasi aktif politik etnis Tionghoa
serta banyak yang mengganti identitas agamanya menjadi Kristen, Budha, dan Islam.
Kebijakan asimilasi berdampak sedikit sekali kepada masyarakat pribumi.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah pada masa Orde Baru proses
nation building yang bertumpu pada stabilitas nasional belum sepenuhnya berhasil.
Walaupun etnis Tionghoa dibatasi aktivitasnya dalam bidang sosial, politik, dan
budaya tetapi dalam bidang ekonomi diberi kebebasan yang seluas-luasnya. Hal
inilah yang tetap menjadikan etnis Tionghoa sebagai komunitas yang ekslusif karena
mempunyai kemampuan ekonomi bagus. Kecemburuan sosial tetap tercipta yang
akhirnya memuncak ketika terjadi kerusuhan di Jakarta, Bandung dan Makassar pada
bulan Mei tahun 1998.