Show simple item record

dc.contributor.authorYanti Yulianti
dc.date.accessioned2014-01-24T00:56:19Z
dc.date.available2014-01-24T00:56:19Z
dc.date.issued2014-01-24
dc.identifier.nimNIM080110301010
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/22968
dc.description.abstractPenduduk Kabupaten Lumajang terdiri atas dua suku dominan yakni suku Jawa dan suku Madura. Mereka memeluk agama ya ng beragam sesuai dengan latar belakang etnis sehingga mengakibatkan keanekaragaman agama dan kebudayaan di daerah Lumajang. Agama di L umajang terdiri atas I slam, Katolik, Kristen, Budha dan Hindhu. Namun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lumajang hidup saling berdampingan dan saling hormat-menghormati antar agama. Keadaan ini berbeda pada 1975, Lumajang menjadi ramai dengan terjadinya konflik antara jemaat GKJW dan GPIB. Konflik tersebut terjadi dalam satu agama, yang akhirnya harus terpecah menjadi dua kelompok gereja. Sebelumn ya keberadaan GKJW lebih bisa diterima kalangan masyarakat Lumajang, karena GKJW sudah berada di Lumajang jauh sebelum GPIB berdiri kembali pada 1975. Jemaat GKJW sering mengadakan kegiatan sosial ya ng ban ya k membantu masyarakat Lumajang, sehingga masyarakat menjadi dekat dengan GKJW . GPIB muncul kembali di Luma jang pada 1975. Masyarakat Lumajang menjadi terkejut dengan kemunculan GPIB di Lumajang, secara tiba-tiba ingin mengusir GKJW dari gedung gereja yang selama ini digunakan sebagai tempat peribadatan GKJW sejak tahun 1946. Jemaat GPIB mengetahui sejarah perjalanan jemaat GKJW untuk mendapatkan gedung tersebut yang awal mulanya gedung yang berada di Jalan Panjaitan ialah bukan gedung milik jemaat GKJW, sehingga Sukarno bersikeras untuk mendapatkan gereja agar dapat ditempati oleh GPIB Lumajang. Jemaat dan pengurus GKJW merasa keberatan untuk pindah dari gereja, mengingat riwayat perjalanan jemaat GKJW yang begitu panjang untuk mendapatkan gedung gereja tersebut. Akhirnya pada 1975 hal ya ng ditakutkan terjadi yaitu timbulnya perselisihan antara dua kubu gereja sebagai pemicu terjadinya konflik. Perselisihan ya ng panjang antara jemaat GKJW dengan jemaat GPIB diketahui oleh Bupati Lumajang, yakni Bupati Suwandi. Bupati Suwandi turut menyelesaikan masalah perselisihan antara jemaat GKJW dan GPIB. Bupati Suwandi takut terjadi konflik ya ng lebih berdampak luas. Oleh sebab itu Bupati Suwandi mengadakan pertemuan dengan jemaat GKJW dan GPIB, untuk xix http://library.unej.ac.id/ http://library.unej.ac.id/ http://library.unej.ac.id/ http://library.unej.ac.id/ membahas masalah status kepemilikan gedung gereja. Akhirnya konflik yang terjadi antara jemaat GKJW dan GPIB dapat diselesaikan oleh Bupati Suwandi yakni dengan memberikan tanah untuk pembangunan gereja baru untuk jemaat GKJW. Bupati Suwandi menganggap konflik antara jemaat GKJW dan GPIB dapat terselesaikan jika masing-masing kelompok jemaat mempunyai gereja sendiri. Sehingga dengan pembangunan gereja baru untuk jemaat GKJW inilah salah satu upaya penyelesaian terbaik untuk mewujudkan hubungan ya ng harmonis diantara umat Kristiani di Lumajang.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries080110301010;
dc.subjectKonflik Antara Jemaat GKJW dan GPIBen_US
dc.titleBEREBUT ‘RUM AH TUHAN’ : Studi Kasus Konflik Antara Jemaat GKJW dan GPIB di Kelurahan Citrodiwangsan Kecamatan Lumajang Kabupaten Lumajang, 1975-1982en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record