dc.description.abstract | Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang mengakibatkan timbulnya
hubungan hukum antara seorang laki-laki dan perempuan, melalui perkawinan
pula garis keturunan akan tetap berlanjut sehingga masalah seperti pewarisan dan
hal-hal lainya akan tetap berjalan lancar. Masing-masing pihak yang akan
melangsungkan perkawinan hendaknya telah dewasa baik secara psikologis
maupun secara biologis, serta mampu untuk bertanggung jawab atas keluarga
yang dibentuknya itu. Ketentuan mengenai kematangan usia calon isteri dan calon
suami yang akan melangsungkan perkawinan tercermin dalam ketentuan Pasal 7
ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16”. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut maka apabila ketentuan
umur ini tidak terpenuhi, sedangkan pihak-pihak di dalamnya tetap menginginkan
adanya perkawinan, maka Undang-Undang Perkawinan Nasional melalui Pasal 7
ayat (2) mengisyratkan bahwa pihak-pihak tersebut harus terlebih dahulu
mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan atau pejabat lain
yang ditunjuk.
Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini meliputi 3 (tiga) hal,
diantaranya: Pertama, Siapakah yang berwenang mengajukan permohonan
dispensasi kawin di bawah umur; Kedua Apakah yang menjadi alasan-alasan
hakim mengabulkan kawin di bawah umur; ketiga, Siapakah yang dimaksud
dengan pejabat lain sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Berdasarkan uraian
inilah, maka penulis terdorong untuk mengkaji lebih lanjut dalam karya ilmiah
berbentuk skripsi dengan judul : “ KAJIAN YURIDIS TENTANG
DISPENSASI KAWIN DI BAWAH UMUR ”.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji siapakah yang
berwenang mengajukan permohonan dispensasi kawin di bawah umur, apakah
yang menjadi alasan hakim mengabulkan kawin di bawah umur dan untuk
mengkaji siapakah yang di maksud pejabat lain sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Pendekatan masalah yang dipergunakan penulis dalam penulisan skripsi
ini adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach). Yaitu
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Undang-Undang Perkawinan
Nasional kita yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
mengatur mengenai ketentuan batas umur minimum seseorang untuk
mengsungkan perkawinan, yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16
(enam belas) tahun bagi perempuan. Apabila dalam hal ini memang perkawinan
itu t idak dapat dihindari dan berkeinginan untuk dilaksanakan sesegera mungkin,
maka melalui ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam pihak orang tua dari
calon mempelai baik pihak laki-laki maupun perempuan dapat mengajukan
permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan atau pejabat lain yang ia tunjuk.
Perkawinan di usia muda memang seharusnya dihindari karena ditakutkan
akan menimbulkan permasalahan seperti kurang dapatnya suami isteri dalam
menyelesaikan permasalah rumah tangga atupun permasalahan lainya.
Berdasarkan alasan inilah maka pada tahap pemeriksaan dalam perkara
permohonan dispensasi kawin ini, hakim juga akan tetap menasehati pemohon
tentang akibat yang mungkin terjadi apabila perkawinan di usia dini ini terjadi.
Namun apabaila pemohon telah yakin bahwa perkawinan memang harus
terlaksana, maka hakim dengan mempertimbangkan segala sesuatunya baik dilihat
dari segi baik maupun buruknya akan mengambil keputusan dan kemudian akan
menetapkannya melalui Penetapan permohonan dispensasi kawin. Walaupun
sebenarnya Undang-Undang Perkawinan Nasional kita menganut prinsip bahwa
dalam perkawinan itu pasangan suami isteri harus telah matang jiwa raganya
dengan kata lain telah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas dirinya dan
pasangannya. | en_US |