dc.description.abstract | Pada dasarnya penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh praktek waris
beda agama yang amat pelik di zaman modern, lebih- lebih ketika terjadi yang ahli
waris ternyata memeluk agama yang berbeda dengan orang tua kandungnya,
seperti banyak kasus di beberapa tempat di dunia, termasuk di Indonesia. Timbul
perdebatan antara beberapa ulama tentang ahli waris yang beda agama dengan
pewaris. Ada ulama yang mengatakan bahwa ahli waris yang beda agama dengan
pewaris tidak berhak mendapatkan harta waris, ada pula ulama yang mengatakan
bahwa ahli waris yang beda agama dengan pewaris boleh mendapatkan warisan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan
membahasnya dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul
“KEDUDUKAN AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA DENGAN
PEWARIS TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM.”
Rumusan masalah yang akan dibahas terdiri dari tiga hal yakni: Pertama,
Apakah ahli waris yang beda agama dengan pewaris merupakan penghalang untuk
mendapatkan hak waris, Kedua, Apakah ahli waris beda agama dengan pewaris
mempunyai kedudukan dalam hukum waris Islam, Ketiga, Lembaga peradilan
apakah yang berwenang dalam menyelesaikan perkara apabila terjadi sengketa
antara ahli waris yang beda agama.
Tujuan penulisan ini yang pertama adalah untuk mengkaji dan
menganalisa apakah ahli waris yang beda agama dengan pewaris merupakan
penghalang untuk mendapatkan hak mewarisi. Yang kedua, untuk mengkaji dan
menganalisa kedudukan ahli waris yang beda agama dengan pewaris. Yang
ketiga, untuk mengkaji dan menganalisa lembaga pengadilan mana yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara pewaris dan ahli warisnya beda
agama. Metodologi yang dipakai dalam penulisan ini adalah yuridis normatif
(legal reasearch) yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma- norma yang ada dalam hukum positif yang berlaku.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang (statue
approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, ahli waris yang
beda agama dengan pewaris bukan merupakan halangan untuk mendapatkan hak
mewaris. Syarat-syarat untuk menjadi seorang ahli waris yaitu karena pertalian
darah atau nasab, perkawinan yang sah, beragama Islam dan warisan wala.
Sedangkan halangan seseorang untuk menjadi ahli waris yakni: Pembunuhan;
Murtad (Berpindah agama); Kafir; Berstatus hamba sahaya; Pewaris maupun ahli
waris sama-sama telah meninggal dunia. Kedua, Islam diturunkan dimuka bumi
sebagai agama yang rahmatan lil alami. Oleh karenanya Kompilasi Hukum Islam
ahli waris yang beda agama dengan pewaris diberikan bagian 1/3 dari harta waris
yang disebut wasiat wajibah. Pemberian warisan terhadap ahli waris yang beda
agama dapat dilakukan cara wasiat wajibah. Hal ini didukung oleh Mahkamah
Agung dalam putusannya RI REG. No. 51 K/AG/1999 yang memberikan peluang
kepada ahli waris beda agama untuk mendapatkan warisan dari pewaris muslim.
Ketiga, Terkait dengan pembagian warisan, sistem hukumnya masih bersifat
pruralisme dibidang kewarisan, yaitu adanya hak memilih hukum waris apa yang
dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian harta waris. Pluralisme dibidang
kewarisan dalam UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dijumpai
dalam bagian Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam tentang pilihan hukum.
Tetapi dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7
tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pilihan hukum dihapuskan. Maka pihak
yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa di Peradilan Agama dengan
menggunakan asas personalitas keislaman dan karena penyelesaian waris beda
agama itu telah menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Adapun saran yang dapat diberikan adalah apabila seseorang akan berpindah
agama sebaiknya mempertimbangkan lagi akibat hukumnya seperti tentang
kewarisannya agar tidak terjadi sengketa dengan anggota keluarganya sendiri.
Pemerintah hendaknya turut memberikan informasi kepada masyarakat bahwa
apabila terjadi sengketa antara ahli waris yang beda agama dengan ahli waris lain
dapat mengajukan tuntutannya ke Pengadilan Agama yang sudah mempunyai
wewenang penuh untuk menyelesaikan perkara waris. | en_US |