dc.description.abstract | Salah satu pembahasan fiqih yang mempunyai dasar dan penjelasan hingga
sangat detail dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah masalah mawaris. Kedua sumber
tertinggi hukum Islam ini bahkan menyebutkan secara tegas dan jelas bagianbagiannya.
Agaknya tidak sedikit kaum muslimin yang mengira bahwa hal ini
menunjukan bahwa ketentuan pembagian waris sepenuhnya harus dilakukan
dengan cara demikian dan sama sekali tertutup kemungkinan untuk menerapkan
pola pembagian lain yang tidak harus menggunakan angka-angka bagian
sebagaimana telah disebutkan secara tegas oleh Al-Qur’an dan Hadist padahal
para ulama fiqih, sebagaimana kemudian diadopsi oleh kompilasi hukum Islam,
menegaskan kemungkinan pengunaan prinsip kekeluargaan dalam menyelesaikan
masalah waris. Akan tetapi penyelesaian melalui cara kekeluargaan tidak
selamanya dapat menyelesaikan sengketa antara ahli waris. Berdasarkan uraian
diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan membahasnya lebih lanjut dalam
skripsi dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN DZAWIL
ARHAM TERHADAP PEROLEHAN WARIS DITINJAU DARI HUKUM
ISLAM (
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan Dzawil
Arham dalam hukum waris Islam dan pertimbangan hukum hakim pada putusan
No. 263/Pdt.G/2009/PTA.Sby. apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum
Islam.
Tujuan penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2
Metode penelitian dalam penyusunan skripsi ini menggunakan metode
yuridis normative dengan pendekatan masalah, yang pertama adalah pendekatan undang-undang
Penulis menyimpulkan bahwa pembagian ahli waris untuk dzawil arham
dalam Putusan No. 263/Pdt.G/2009/PTA Sby. telah sesuai dengan ketentuan
hukum waris Islam di Indonesia dan pertimbangan hukum majelis hakim
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya melalui Putusan No. 263/Pdt.G/2009/PTA
Sby. telah memenuhi prosedur hukum yang telah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Mengenai amar putusan yang membatalkan putusan
Pengadilan Agama Bangkalan No. 689/Pdt.G/2008/PA. Bkl. adalah benar karena
hakim Pengadilan Agama Bangkalan tidak memberikan warisan kepada dzawil
arham melainkan diberikan kepada Baitul Mal. Dalam kajian fikih Islam
mengenai dzawil arham terbagi menjadi dua kelompok, satu kelompok
berpendapat dzawil arham tidak dapat mempusakai sama sekali, jika tidak ada
ahli waris dzawil furudh dan / atau ashobah, harta peninggalan pewaris
diserahkan kepada Baitul Mal. Kelompok kedua berpendapat bahwa dzawil
arham dapat mempusakai harta peninggalan bila pewaris tidak meninggalkan
ahli waris dzawil furudh maupun ashobah. Dengan berpedoman pada ayat
tersebut, ma ka h a k i m Pe n ga di l a n Ti nggi Aga ma Sur a ba ya
mengambil alih pendapat kedua menjadi pendapatnya sendiri serta berdasarkan
kenyataan belum adanya lembaga Baitul Mal yang sah, maka dalam hal ini
Majelis berpendapat bahwa dua orang saudara sepupu dan sembilan orang
keponakan sepupu tersebut di atas adalah ahli waris dzawil arham yang dapat
diberi warisan. Oleh karena itu harus dinyatakan bahwa dua orang saudara
sepupu dan sembilan orang sebagaimana tersebut di atas adalah ahli waris
dzawil arham dan dapat diberikan bagian dari harta warisa Maisara
Dan saran dari skripsi ini adalah tata cara penyelesaian sengketa
pembagian waris dapat diselesaikan dengan cara bersepakat antar ahli waris untuk
melakukan pembagian waris sesuai dengan bagiannya masing-masing dan
penyelesain di pengadilan dapat digunakan apabila penyelesaian secara
kekeluargaan tidak lagi dapat menyelesaikannya. Sebagai contoh jika ada salah
satu pihak yang menguasai harta waris tersebut tanpa adanya pembagian waris
yang benar dan tidak setuju atas pembagian harta warisan tersebut, maka ahli waris lain yang berhak dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Agama setempat
untuk dilakukan pembagian harta warisan sebagaimana telah dibahas diatas
artinya penyelesaian melalui pengadilan merupakan alternatif terakhir yang dapat
dilakukan setelah penyelesaian secara kekeluargaan tidak lagi dapat dicapai. | en_US |