dc.description.abstract | Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa saja terjadi dalam semua tingkat
pengadilan. Kekhilafan yang diperbuat pengadilan negeri sebagai peradilan
tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding dan pada tingkat kasasi.
Padahal tujuan tingkat banding maupun tingkat kasasi untuk meluruskan dan
memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan
yag lebih rendah. Peninjauan kembali sebagai upaya hukum adalah suatu upaya
hukum yang dipakai untuk memperoleh penarikan kembali atas putusan Hakim
yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
menganalisis putusan Mahkamah Agung No: 34/PK/PID.HAM.AD.HOC/2007
yang telah mengabulkan upaya hukum PK dari terpidana dan membatalkan
putusan M.A. No: 06 K/PID.HAM.AD.HOC/2005 dengan alasan terdapat
kekhilafan yang dilakukan Hakim Agung dan putusan pengadilan sebelumnya.
Penulis merumuskan permasalahan yang pertama, Apa bentuk dari
kekhilafan Hakim yang dijadikan alasan permohonan peninjauan kembali oleh
terpidana Eurico Guterres dalam perkara M.A Nomor: 34 PK/PID.HAM.AD
.HOC/2007. Kedua, apakah kekhilafan Hakim yang dijadikan alasan permohonan
peninjauan kembali oleh terpidana Eurico Guterres dipertimbangkan dalam
putusan M.A nomor 34PK/PID.HAM.AD.HOC/2007.
Tipe Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
pendekatan masalah, yakni pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Sumber bahan hukum dalam
skripsi ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum
sekunder. Analisis bahan hukum dengan beberapa tahapan yang kemudian hasil
analisis bahan penelitian tersebut diuraikan dalam pembahasan guna menjawab
permasalahan yang diajukan hingga sampai pada kesimpulan yang merupakan
tujuan dari skripsi ini.
Kesimpulan yang dapat diperoleh, pertama bentuk kekhilafan Hakim
Agung dalam putusan M.A Nomor : 34 PK/PID HAM.AD.HOC/2007 yaitu
Hakim tidak Menjalankan peran sebagai yudex factie sesuai dengan ketentuan
pasal 253 ayat (3) KUHAP jo Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP bahwa
“pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
xiii
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa’’. Dengan tidak mempertimbangkan fakta-fakta
yang terbukti dalam pemeriksaan sidang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 182
KUHAP tersebut. Hal ini merupakan sesuatu bentuk kekhilafan yang nyata,
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 263 KUHAP ayat (2) b. Kedua dalam
pertimbangannya Mahkamah Agung dalam perkara Nomor: 34 PK/PID
.HAM.AD.HOC/2007 menerima Ketiga alasan yang diajukan oleh pemohon
Peninjauan Kembali dan dengan mengacu pada pasal 266 ayat (2) hurup b
KUHAP maka Hakim Agung menjatuhkan putusan bebas kepada pemohon
peninjauan kembali namun Hakim Agung dalam pertimbangannya mengulas
kembali unsur-unsur dari surat dakwaan kesatu berdasarkan Pasal 42 ayat (2) a
dan b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM dengan mnggunakan pertimbangan yang berbeda dari alasan
yang diajukan oleh pemohon Peninjauan Kembali. Saran penulis, pertama
hendaknya setiap penegak hukum memahami makna dari “mengadili sendiri”
dalam setiap putusan Hakim Agung yang berarti bahwa peran dan kewenangan
Hakim Agung tidak hanya sebagai yudex yuris tetapi juga sebagai yudex factie
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 253 ayat (3) KUHAP kedua walaupaun
tidak ada peraturan yang mengatur dan mewajibkan Hakim Agung harus
membahas semua alasan yang diajukan oleh pemohon Peninjauan Kembali
hendaknya Hakim Agung dalam pertimbangannya memaparkan secara jelas dasar
pertimbangan dalam hal menerima atau menolak alasan peninjauan kembali
sehingga menjadi jelas dalam jelas argumentasi yuridis Mahkamah Agung dalam
memutus suatu perkara yang diajukan padanya. | en_US |