TINJAUAN YURIDIS SENGKETA DESAIN INDUSTRI ANTARA PT. APLUS PACIFIC DENGAN ONGGO WARSITO
Abstract
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hasil proses kemampuan
berpikir yang dijelmakan ke dalam bentuk ciptaan atau invensi. Ciptaan atau
invensi tersebut merupakan milik yang di atasnya melekat suatu hak yang
bersumber dari akal (intelek). Desain Industri pada dasarnya adalah suatu proses
penciptaan, penemuan, dan penemuan yang tidak terpisahkan dari segi-segi
produksi, sehingga perlu diberikan suatu perlindungan dengan peraturan
perundang-undangan. Perlindungan tentang Desain Industri di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri, hak atas desain industri diberikan negara kepada pendesain dalam jangka
waktu tertentu yaitu 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000.
Peraturan mengenai Desain Industri selain untuk mewujudkan komitmen terhadap
Persetujuan TRIPs, juga untuk memberikan landasan bagi perlindungan yang
efektif terhadap berbagai bentuk pembajakan, penjiplakan, dan peniruan atas
Desain Industri yang telah didaftarkan. Dalam praktek, masih banyak ditemukan
permasalahan-permasalahan di bidang Desain Industri. Penulis mengkaji perkara
perdata berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 801
K/ Pdt.Sus/2011, yaitu PT. APLUS PACIFIC yang mengajukan gugatan
pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri “Rangka Plafon” milik ONGGO
WARSITO karena Desain Industri milik Tergugat dianggap mirip dengan PT.
APLUS PACIFIC.
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang timbul yaitu
apakah setiap bentuk produk dapat diberikan perlindungan desain industri, apakah
akibat hukum gugatan pembatalan pendaftaran hak desain industri antara PT.
Aplus Pacific dan Onggo Warsito, apakah ratio decidendi (pertimbangan hukum)
hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 801
K/Pdt.Sus/2011 tentang penolakan pembatalan pendaftran hak desain industri
ditinjau dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Jember, merupakan salah
satu bentuk penerapan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan yang bersifat
teoritis dengan praktik yang terjadi di masyarakat, memberikan kontribusi
pemikiran yang diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu tipe penelitian
yang bersifat yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan penyusunan
skripsi ini yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach), dan studi kasus (case study). Sumber bahan
hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan non hukum.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah bentuk produk yang diberikan
Perlindungan Desain Industri telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2000. Akibat hukum dari pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri
terhadap kasus Sengketa PT. APLUS PACIFIC dan ONGGO WARSITO
berdasarkan putusan tersebut adalah menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi sehingga para pihak masih tetap memiliki Hak Desain Industri pada
masing-masing desainnya. Ratio Decidendi (Pertimbangan Hukum) Hakim dalam
Putusan Nomor: 801 K/Pdt.Sus/2011 telah sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan Judex Facti, karena dalam
Desain Industri menganut prinsip kebaruan dan tidak sama bukan kemiripan,
dalam kasus ini unsur kebaruan yang dimaksud adalah adanya garis yang lebih
dalam dan lipatan sambungan sehingga terdapat perbedaan terhadap obyek
sengketa.
Saran yang dapat penulis sampaikan yaitu hendaknya ada pengaturan yang
lebih jelas mengenai syarat pemberian Hak Desain Industri, sebagaimana pada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri ini. Revisi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri mengenai unsur
“tidak sama” dan “kebaruan” agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun
multitafsir dalam penilaian pemberian Hak Desain Industri. Pemerintah khususnya
yang bergerak dalam bidang HKI harusnya lebih teliti dalam mengkaji
permasalahan yang mungkin terjadi dalam sengketa HKI khususnya Desain
Industri.
Collections
- UT-Faculty of Law [6243]