ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
Abstract
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping
kewenangan-kewenangan tersebut diatas, menurut Pasal 24C ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaraan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai
politik apabila sejenak diperhatikan akan timbul pertanyaan, apakah pembubaran
partai politik tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Padahal apabila ditelisik kebelakang, perlindungan terhadap hak asasi manusia
merupakan salah satu elemen yang penting dari negara hukum.
Walaupun UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik, pada saat yang
sama UUD NRI Tahun 1945 tidak memberikan ketentuan yang jelas dan tegas
mengenai alasan dan atas dasar apa suatu partai politik dapat dibubarkan oleh
Mahkamah Konstitusi. UUD NRI Tahun 1945 sebagai peraturan perundang-
undangan yang tertinggi di Indonesia lebih memilih untuk mendelegasikan
pengaturan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus
pembubaran partai politik kepada undang-undang yang notabenenya sebagai
produk politik yang sarat dengan kepentingan individu dan golongan. Hal ini dapat
dicermati dari ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi,
“Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”.
Sepintas apabila melihat uraian diatas maka akan tampak adanya
ambivalensi antara UUD NRI Tahun 1945 dalam memberikan kebebasan dan kewenangan sebagaimana tersebut diatas sehingga disini diperlukan adanya
parameter yang tegas dan jelas tentang alasan-alasan dan/atau dasar pembubaran
partai politik. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk meminimalisir potensi
tindakan sewenang-wenang dari penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan
menganalisa lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus
pembubaran partai politik terutama dikaitkan dengan adanya kemerdekaan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dalam suatu karya ilmiah
berbentuk skripsi dengan judul “ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS
PEMBUBARAN PARTAI POLITIK”. Sedangkan permasalahan yang penulis
rumuskan dalam skripsi ini, pertama, pengajuan pembubaran partai politik oleh
pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi, kedua, Apakah Mahkamah Konstitusi
dalam memutus pembubaran partai politik bertentangan dengan kemerdekaan
berserikat dan berkumpul?. Tujuan penulisan skripsi ini, pertama, untuk
mengetahui dari perpektif ilmu hukum mengenai pengajuan pembubaran partai
politik oleh pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi, kedua, Untuk mengetahui
dari perpektif ilmu hukum bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
memutus pembubaran partai politik tidak bertentangan dengan kemerdekaan
berserikat dan berkumpul.
Metode penelitian dalam skripsi ini meliputi tipe penelitian, pendekatan
masalah, bahan hukum, dan analisis bahan hukum. Tipe penelitian yang
digunakan adalah tipe penelitian normatif, pendekatan masalah yang penulis
gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Bahan hukum
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan non hukum. Sedangkan analisis bahan hukum yang
digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.
Berdasarkan analisa yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan,
Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, hal ini disebabkan
karena kewenangan pemerintah untuk bertanggungjawab menjalankan UndangUndang
Dasar dan segala peraturan perundang-undangan itu dengan sebaikbaiknya
sesuai dengan hukum. Pengajuan pembubaran partai politik oleh
pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi haruslah didasarkan pada reasonable
ground (alasan rasional yang masuk akal) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 68
ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) dan Pasal 40 ayat (2), Pasal
40 ayat (5), Pasal 48 ayat (2), Pasal 48 ayat (3), dan Pasal 48 ayat (7) UndangUndang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4801), kedua, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
memutus pembubaran partai politik tidak bertentangan dengan kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, karena dalam posisinya sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of constitution), Mahkamah Konstitusi harus menjaga agar nilai-nilai
luhur yang ada didalam konstitusi termasuk didalamnya kebebasan berserikat dan
berkumpul yang dalam hal ini dilembagakan dalam bentuk partai politik, tidak
mencederai dan/atau bahkan melanggar nilai-nilai demokrasi dan tujuan Negara
Indonesia sebagaimana termaktub dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945.
Berkaitan dengan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat penulis
ajukan, pertama, diperlukan adanya penyempurnaan regulasi pembubaran partai
politik, disamping itu penyempurnaan ini diperlukan karena ketentuan-ketentuan
pembubaran partai politik yang ada didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 masih sangat luas pengertiannya,
sehingga cenderung untuk menimbulkan debatebel (mengundang perdebatan) dan
munculnya penafsiran-penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Namun
apabila proses penyempurnaan terhadap kedua Undang-Undang tersebut diatas
masih harus melalui jalan panjang dan terjal di DPR, maka Mahkamah Konstitusi
dengan berlandaskan pada Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
hendaknya dapat dengan segera menyusun Peraturan Mahkamah Konstitusi yang mengatur lebih lanjut dan menerjemahkan ketentuan yang ada di kedua UndangUndang
tadi, kedua, Dalam posisinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of
constitution), kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran
partai politik sangat rentan akan adanya intervensi. Karena tidak dapat dipungkiri,
bahwa hakim konstitusi diajukan oleh 3 (tiga) lembaga negara yang berbeda
(Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) yang bukan tidak mungkin dimasa yang
akan datang apabila Presiden dan DPR dikuasai oleh partai politik dan/atau
gabungan partai politik pemenang pemilihan umum yang sama, dikhawatirkan hal
ini akan dapat mempengaruhi imparsialitas (ketidakberpihakan) Mahkamah
Konstitusi dalam memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya termasuk
dalam memutus pembubaran partai politik. Usulan konkret dari penulis, mengenai
pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi dimasa yang akan datang hendaknya
dipilih oleh lembaga yang independen, yang dalam hal ini penulis mengusulkan
pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]