dc.description.abstract | Konflik di Nanggroe Aceh Darusalam antara Pemerintah Indonesia dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung sejak 4 Desember 1976 yakni sejak
dideklarasikannya pendirian GAM oleh Hasan Muhammad Di Tiro. Konflik
tersebut terus berkembang tanpa ada perdamaian, hingga diadakan banyak
perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, namun kondisi keamanan
terus memburuk hingga pemerintah Indonesia mengumumkan Darurat Milter di
Aceh pada 19 Mei 2003. Pada masa Darurat Militer inilah Juru Runding GAM
Nashiruddin Bin Ahmad bersama dengan keempat Juru Runding GAM lainnya
ditangkap. Kemudian Nashiruddin Bin Ahmad dibawa ke sidang pengadilan dan
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana makar dan terorisme. Pada tingkat
kasasi terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) diantara hakim majelis
mengenai kualifikasi tindak pidana yang terbukti antara tindak pidana makar dan
terorisme. Namun dalam putusannya Mahkamah Agung tetap menyatakan
terdakwa Nashiruddin Bin Ahmad bersalah melakukan tindak pidana makar dan
terorisme. Rumusan Masalah yang akan dibahas adalah apakah kualifikasi tindak
pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa selaku
Juru Runding dalam Putusan Nomor 406 K/PID/2004 sudah tepat, dan mengapa
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tindak pidana
yang didakwakan sebagai makar dan terorisme.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui maksud dari permasalahan
yang hendak dibahas. Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat
yuridis normatif, pendekatan masalah adalah Pendekatan Perundang-undangan
(Statute Approach) yakni dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahan hukum yang
terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder serta analisis bahan hukum. Kesimpulannya, Kualifikasi tindak pidana yang didakwakan kepada
Nashiruddin Bin Ahmad selaku Juru Runding GAM adalah sebagai tindak pidana
makar sudah tepat, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 106 KUHP yakni
makar dengan maksud memisahkan wilayah negara ke bawah pemerintahan asing
dan Pasal 108 KUHP yakni makar dengan melakukan pemberontakan bersenjata.
Sehingga seharusnya surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa
adalah primair Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, subsidair Pasal
108 ayat (1) ke-2 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan alasanalasan
Mahkamah Agung bahwa Nashiruddin Bin Ahmad terbukti melakukan
tindak pidana makar adalah (1). Adanya proklamasi Negara Aceh Sumatera atau
proklamasi GAM, (2). Adanya susunan organisasi GAM/Negara Aceh Sumatera,
dan (3). Terpenuhi semua unsur Pasal 106 KUHP. Dan penulis berpendapat bukan
sebagai terorisme karena (1). Elemen penting Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ialah bahwa tindak pidana
terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan
dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak
pidana yang bertujuan politik (Pasal 5), sedangkan GAM adalah organisasi
bertujuan politik yakni untuk memerdekakan wilayah Aceh, sehingga perbuatan
terpidana Nashiruddin Bin Ahmad adalah untuk mencapai tujuan politik tersebut
tidak dapat dinyatakan sebagai perbuatan terorisme. (2). Pada waktu ditangkap
dan diadili Nashiruddin Bin Ahmad berkedudukan sebagai Juru Runding GAM
dan menurut hukum internasional serta Perjanjian Penghentian Permusuhan antara
Pemerintah Indonesia dan GAM, Juru Runding dijamin keamanan dan kebebasan
bergerak serta dijamin dari ancaman penangkapan dan penghukuman dari salah
satu pihak dalam perundingan.
Saran penulis, Pemerintah Indonesia harus mengamandemen UndangUndang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
terutama mengenai batasan pengertian terorisme dalam Pasal 5 yang menyatakan
bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif
politik, dan tindak pidana yang bertujuan politik karena dalam berbagai peraturan
internasional tindak pidana terorisme selalu berhubungan dengan tujuan politik. | en_US |