dc.description.abstract | Dalam ketentuan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di mungkinkan bagi seorang laki-laki untuk beristri lebih dari
satu orang atau di sebut juga dengan poligami, sebagai salah satu bentuk
manifestasi pelaksanaan ketentuan hukum perkawinan Islam. Dalam ketentuan
pasal 4 juga disebutkan bahwa : apabila seorang suami bermaksud untuk beristri
lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis ke
pengadilan Agama.
Terkait dengan makna perkawinan dan di perbolehkannya perkawinan
poligami di Indonesia. Maka permasalahan yang dapat penulis kemukakan adalah
tentang bagaimanakah keberadaan harta bersama dengan adanya perkawinan
poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
serta, bagaimanakah pembagian harta bersama dalam hal terjadi putusnya
perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Karena sesuai dengan fakta yang saya teliti terdapat permasalahan ketika
dalam perkawinan itu seorang suami tidak dapat menerapkan prinsip adil sehingga
timbul perselisihan-perselisihan dan salah satunya adalah mengenai perebutan
harta bersama dari masing-masing istri tersebut, meskipun dalam permasalahan
itu telah adanya suatu perjanjian perkawinan.
Tujuan penulisan skripsi ini secara khusus adalah Untuk mengetahui dan
mengkaji bagaimanakah keberadaan harta bersama dengan adanya perkawinan
poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
serta, bagaimanakah pembagian harta bersama dalam hal terjadi putusnya
perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah
pendekatan masalah secara yuridis normatif.
Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer seperti
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bahan hukum
sekunder yang diperoleh dari mempelajari dan membaca buku-buku maupun
literatur serta dokumentasi dan keterangan-keterangan yang di peroleh dari
instansi terkait dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan metode pengambilan
bahan hukum adalah dengan menggunakan studi literatur dan studi dokumentasi.
Analisa bahan hukum yang digunakan dalam mengambil kesimpulan adalah
dengan menggunakan metode deduktif yaitu yaitu proses penarikan kesimpulan
yang dilakukan dari pembahasan yang mempunyai sifat umum menjadi
pembahasan yang bersifat khusus.
Setelah diadakan pembahasan dan pennelaahan terhadap masalah tersebut
maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa kedudukan harta bersama
dengan adanya perkawinan poligami adalah bahwa harta bersama dari perkawinan
tersebut masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, pemilikan harta bersama dari
perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang, di hitung pada
saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, dan yang ke empat.
Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dalam hal terjadi
putusnya perkawinan, di hitung sejak akad perkawinan di langsungkan dengan
istri kedua, ketiga, dan ke empat. Dalam hal ini istri kedua dan seterusnya tidak
berhak menuntut harta bersama yang di peroleh dengan istri yang terdahulu, sebab
keberadaan harta bersama tersebut terhitung sejak adanya akad perkawinan
dengan istri yang selanjutnya.
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan adalah bahwa Perkawinan
adalah merupakan upaya yang positif dalam rangka membentuk suatu keluarga
yang bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah di hadapan Allah SWT.
Perkawinan poligami menuntut seorang suami untuk dapat berlaku adil bagi istriistri
dan
anak-anaknya,
dengan
adilnya
suami
niscaya
kelak
tidak
terjadi
sengketasengketa
terhadap
istri-istri
dan
anak-anaknya,
baik
itu
mengenai
kedudukan
harta
bersama
mereka
maupun
yang
lain-lainnya.
Untuk mencegah terjadinya perselisihan mengenai pembagian harta
bersama, maka sebaiknya perlu di adakannya suatu perjanjian perkawinan baik
antara suami dengan istri pertama, kedua, ketiga, maupun ke empat yang
menyangkut pembagian harta bersama mereka dalam hal terjadi putusnya
perkawinan, tetapi perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan masingmasing
pihak yang membuat perjanjian tersebut. Oleh karena itu hendaklah
masing-masing pihak tersebut memahami dengan sebenar-benarnya hak dan
kewajibannya, jika masih terdapat perselisihan maka penyelesaian melalui
Pengadilan Agama adalah merupakan solusi terbaik dengan adanya suatu
keputusan hakim. | en_US |