• Login
    View Item 
    •   Home
    • UNDERGRADUATE THESES (Koleksi Skripsi Sarjana)
    • UT-Faculty of Law
    • View Item
    •   Home
    • UNDERGRADUATE THESES (Koleksi Skripsi Sarjana)
    • UT-Faculty of Law
    • View Item
    JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

    TINJAUAN YURIDIS PEMBERHENTIAN PRESIDEN SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

    Thumbnail
    View/Open
    A (91)X_1.pdf (106.2Kb)
    Date
    2014-01-19
    Author
    AGUNG DWI KUSUMA
    Metadata
    Show full item record
    Abstract
    Reformasi nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (kemudian akan kita sebut UUD RI 1945) yang disakralkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk tidak direvisi. Setelah reformasi, konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Di era reformasi, dimana bangsa Indonesia telah sepakat untuk mengaktualkan nilai-nilai dasar demokrasi, konstitusi tidak lagi dianggap sakral. Selain amandemen Undang Undang Dasar 1945, gerakan reformasi juga menuntut pembubaran dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Indonesia) dan pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Pada waktu itu gagasan yang dominan adalah pembatasan masa jabatan presiden. Peran Dewan Perwakilan Rakyat sangat penting dalam menentukan proses ketatanegaraan. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan pembatasan masa jabatan presiden merupakan salah satu efek dari dinamika politik di Indonesia Sistem pemerintahan yang pernah kita alami adalah sistem pemerintahan parlementer dan presidensil, karena memang dalam negara-negara demokrasi salah satu dari kedua sistem itulah yang dipakai. Dari kedua sistem ini karena situasi dan kondisi dimana salah satu sistem ini dipakai, mungkin ada yang tidak “murni” parlementer atau presidensil, atau dengan kata lain quasi parlementer atau quasi presidensil. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, presiden beserta seluruh unsur administrasi Negara lainnya, menyelenggarakan pemerintahan sehari hari. Penyelenggaraan pemerintahan sehari hari mencakup, semua lapangan adminstrasi Negara, baik yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan, ketentuan tertulis atau tak tertulis maupun berdasarkan kebebasan bertindak untuk mencapai tujuan pembentukan pemerintahan. Dalam sistem presidensiil, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk xii mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Konsep pemberhentian presiden di tengah masa jabatannya oleh sutau lembaga perwakilan rakyat dengan alasan sang presiden telah melakukan kesalahan sebenarnya tidaklah murni ala Indonesia. Konsep yang sama dianut pula oleh negara-negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil lainnya. Negara yang telah berpengalaman dalam menerapkan konsep serupa adalah Amerika Serikat. Di AS, konsep pemecatan presiden tersebut disebut impeachment. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat meminta pertanggung jawaban presiden dalam sidang istimewanya. Namun karena dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan selalu di akhiri dengan pencabutan jabatan presiden (kasus Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid), maka dapat diartikan bahwa permintaan pertanggungjawaban oleh majelis dalam sidang istimewa itu merupakan proses pemberhentian presiden. Pemberhentian presiden sebelum masa jabatannya disebutkan dalam TAP MPR nomor 3 tahun 1978 pada pasal Pasal 4 (1) yang berbunyi : “Majelis dapat memberhentikan presiden sebelum habis masa jabatannya karena : a. atas permintaanya sendiri b. berhalangan tetap c. sungguh sungguh melanggar haluan negara “ Setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak bisa lagi bertindak sendiri, tetapi harus melibatkan lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi inilah yang akan menentukan apakah presiden dan atau wakil presiden benar benar telah melanggar hukum atau tidak
    URI
    http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/17667
    Collections
    • UT-Faculty of Law [6287]

    UPA-TIK Copyright © 2024  Library University of Jember
    Contact Us | Send Feedback

    Indonesia DSpace Group :

    University of Jember Repository
    IPB University Scientific Repository
    UIN Syarif Hidayatullah Institutional Repository
     

     

    Browse

    All of RepositoryCommunities & CollectionsBy Issue DateAuthorsTitlesSubjectsThis CollectionBy Issue DateAuthorsTitlesSubjects

    My Account

    LoginRegister

    Context

    Edit this item

    UPA-TIK Copyright © 2024  Library University of Jember
    Contact Us | Send Feedback

    Indonesia DSpace Group :

    University of Jember Repository
    IPB University Scientific Repository
    UIN Syarif Hidayatullah Institutional Repository