dc.description.abstract | Hukum biasanya mendasarkan pada sesuatu yang nyata (fisik) akan tetapi
internet telah mengubah sesuatu yang nyata menjadi sesuatu yang bersifat
elektronik, seperti berkirim surat melalui e-mail. Hal ini berarti membutuhkan
pengertian yang luas mengenai alat bukti dalam proses persidangan. Namun
demikian walaupun pengaturan mengenai kekuatan e-mail dalam proses
persidangan belum ada secara jelas tetapi alat bukti berupa data elektronik dalam
bentuk e-mail telah banyak.
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diambil penulis
adalah apakah e-mail dapat dikwalifikasikan sebagai alat bukti dalam perkara
perdata, apakah alat bukti e-mail dalam perkara perdata mempunyai kekuatan
pembuktian, dan apakah Ratio Decidendi Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam memutuskan perkara Nomor : 300 K/PDT/2010. Tujuan yang ingin dicapai
dari penulisan skripsi ini adalah ingin menjawab dan memberikan masukan
terhadap ketiga permasalahan diatas, sekaligus sebagai prasyarat untuk gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember.
Metodologi dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian
yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang,
pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Bahan hukum primer berupa HIR
(Herzine Indonesich Reglemen) Staatblad 1848, KUHPer, UU ITE, UU Dokumen
Perusahaan, UU Kearsipan, UU Transfer Dana, Putusan Nomor
300/PDT.G/2008/PN.TNG, Putusan Nomor 71/PDT/2009/PT.BTN Putusan
MARI Nomor 300 K/PDT/2010. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan non
hukum sebagai penunjang dan memberikan petunjuk maupun memberi penjelasan
terhadap sumber bahan hukum primer dan sekunder. Analisa bahan hukum diolah
dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara pengambilan kesimpulan dari
pembahasan yang bersifat umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.
Kesimpulan yang diperoleh penulis dalam pembahasan ialah Pengakuan email
sebagai alat bukti dalam perkara perdata ada dalam UU ITE melalui pasal 5
ayat (1), (2). (3), (4), Pasal 6 dan Pasal 44 UU ITE terhadap Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen
Elektronik diakui alat bukti yang sah. Disamping itu, alat bukti ini juga diakui
juga di dalam UU Transfer Dana, UU Dokumen Perusahaan dan UU Kearsipan.
Terhadap kekuatan pembuktian lahir dokumen elektronik atau e-mail sangatlah
bergantung pada bentuk dan maksud dari dokumen itu pertama kali dibuat, apakah
e-mail tersebut sebagai akta otentik atau akta dibawah tangan atau surat biasa.
Sedangkan kekuatan pembuktian formil dan materiil tergantung apakah
merupakan dokumen elektronik dan menggunakan sistem elektronik sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang dan informasi yang tecantum
didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhan, keotentikan dan
kerahasiaannya, serta dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.. Perkara perdata Prita Mulyasari melawan RS. Omni Internasional
tentang e-mail yang berisi keluhan sebagai pasien, dalam putusannya Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi (Judex Factie) menyatakan Prita bersalah dan
melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut Penulis, Putusan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak tepat atau telah salah dalam menerapkan
hukumnya karena perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur dari perbuatan
melawan hukum dan merupakan hal yang wajar.
Saran yang diperoleh penulis ialah Perlu usaha yang sungguh-sungguh
untuk mempersiapkan aparat penegak hukum yang peka terhadap kemajuan
teknologi dan dapat mengaplikasikan teknologi dalam menjalankan tugas,
memperkuat infrastruktur di bidang teknologi informasi dan komunikasi baik oleh
pemerintah maupun pelaku usaha sehingga dapat mengurangi peluang terjadinya
cyber crime, Hakim harus berani menilai, memeriksa, menimbang, mengadili,
maupun memutus suatu perkara yang nota bene merupakan sengketa dalam proses
pembuktian dalam bentuk e-mail dan dalam membuat Hukum Acara Perdata
Nasional yang akan datang hendaknya memuat ketentuan yang mewajibkan
hakim pada Pengadilan Tinggi untuk mempertimbangkan memori banding dan
Pengadilan Tinggi harus mempunyai pertimbangan hukum sendiri, tidak serta
merta mengambil alih pertimbangan hukum Pengadilan Negeri, sehingga
menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum, keadilan,
kebenaran dan menunjukkan kewibawaan dari hakim itu sendiri. | en_US |