Show simple item record

dc.contributor.authorPARAMA ANJIPRASETIA
dc.date.accessioned2014-01-18T00:59:39Z
dc.date.available2014-01-18T00:59:39Z
dc.date.issued2014-01-18
dc.identifier.nimNIM050710191038
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/16526
dc.description.abstractPerkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam melangsungkan perkawinan haruslah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan agar perkawinan yang terjadi adalah merupakan sebuah perkawinan yang sah. Sahnya perkawinan dapat ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu segi positif dan dari segi hukum agama. Segi hukum positif dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan. Pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari segi hukum agama dalam hal ini hukum Islam sesuai dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang sangat kuat atau Miitsaaqan Gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari suku, agama, ras dan kebudayaan yang bersifat kompleks dan heterogen. Keanekaragaman tersebut dapat memungkinkan akan terjadinya perkawinan antara dua warga yang berbeda agama. Hal ini terbukti dengan banyaknya calon pasangan suami istri yang ingin melaksanakan perkawinan, walaupun keduanya berbeda agama. Hal tersebut dapat menimbulkan persoalan di bidang hukum khususnya hukum perkawinan. Indonesia memiliki agama yang beragam, sehingga sering kali terjadi perkawinan beda agama di dalam masyarakat Indonesia. Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut Pasal 52 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI ( warga negara Indonesia ) dengan WNA ( warga negara asing ). Perkawinan beda agama merupakan perkawinan di antara dua orang yang tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan agama, sedangkan dalam perkawinan campuran masing-masing tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan. Problem yuridis terjadi berkenaan dengan perkawinan beda agama tersebut setelah berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang memang tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit. Permasalahan yang timbul dari apa yang telah diuraikan diatas ialah Bagaimanakah Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bagaimanakah Perkawinan Campuran Berdasarkan GHR (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 No.158), Bagaimanakah Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bagaimanakah Perkawinan Beda Agama Menurut Yurisprudensi Nomor 1400 K/PDT/1986 dan juga apakah akibat hukum perkawinan beda agama terhadap status anak dan harta perkawinan Tujuan yang ingin dicapai secara umum adalah adalah guna memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember. Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah untuk Mengkaji dan Menganalisis perkawinan beda agama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Mengkaji dan Menganalisis Perkawinan Campuran Berdasarkan GHR (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 No.158), Mengkaji dan Menganalisis Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Mengkaji dan Menganalisis Perkawinan Beda Agama Menurut Yurisprudensi Nomor 1400 K/PDT/1986 dan juga akibat hukum perkawinan beda agama terhadap status anak dan harta perkawinan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang artinya permasalahan yang diangkat dan diuraikan dalam penelitian yang difokuskan pada penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, yaitu dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang ada, selain itu penulis juga akan melengkapinya dengan pendekatan konseptual. Pada bahan hukum, penulis menggunakan jenis bahan hukum yang saling menunjang, antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Kesimpulannya adalah Perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang dapat menimbulkan berbagai akibat, tidak hanya akibat terhadap status hukum anak dan harta waris tetapi juga terhadap status hukum dari perkawinan itu sendiri. Status hukum perkawinan beda agama adalah sah apabila telah mendapatkan surat Penetapan Pengadilan Negeri yang berisi ijin untuk melangsungkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil dan perkawinan dinyatakan dalam surat-surat keterangan, surat akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan oleh Kantor Catatan Sipil ; Status anak dari perkawinan beda agama adalah sah, karena orangtua dari si anak yang melakukan perkawinan beda agama tersebut melangsungkan perkawinan yang telah dicatatkan di kantor catatan sipil ; Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dan menurut mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Saran yang dapat penulis berikan ialah penyempurnaan kembali UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan karena pemerintah haruslah menciptakan suatu peraturan hukum yang tidak rancu agar setiap masyarakat dapat melaksanakan hukum tersebut dengan baik sehingga dapat terciptanya suatu suasana yang harmonis antara rakyat dengan pemerintah dan juga karena negara merupakan tumpuan dari setiap anggota masyarakat untuk mencari suatu jalan keluar yang dihadapi dalam hal ini berkaitan dengan Perkawinan Beda Agama.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries050710191038;
dc.subjectPERKAWINAN BEDA AGAMAen_US
dc.titlePERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINANen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record