PERLAWANAN PETANI KETAJEK TERHADAP PERUSAHAAN DAERAH PERKEBUNAN JEMBER TAHUN 1974-2002
Abstract
Tanah Ketajek yang menjadi sengketa antara petani Ketajek dengan
Perusahaan Daerah Perkebunan Jember berawal dari terbitnya S.K. Mendagri RI
No.12/ HGU/ DA/ 1974, pada tanggal 29 Agustus 1974 yang memberikan Hak Guna
Usaha kepada Perusahaan Daerah Perkebunan Jember, sehingga menimbulkan
konflik yang berkepanjangan yang akhirnya menimbulkan perlawanan dari petani
Ketajek itu sendiri. Faktor-faktor yang melatar belakangi perlawanan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pengambilalihan tanah oleh Perusahaan Daerah Perkebunan Jember melalui
penguasaan tanah secara paksa dan sepihak yang tidak didasarkan pada pola
pendekatan musyawarah. Cara yang diambil oleh Perusahaan Daerah
Perkebunan Jember dalam memperoleh tanah Ketajek didapatkan melalui
intimidasi, teror, penangkapan serta penyiksaan yang membuat resah warga.
2. Keyakinan para petani pemilik tanah Ketajek, bahwa tanah yang dikuasai oleh
Perusahaan Daerah Perkebunan Jember merupakan tanah milik nenek moyang
mereka yang dulunya membabat hutan Ketajek, sehingga secara de facto
menjadi pemukiman penduduk dan kebun kopi rakyat, sedangkan secara de
jure para pemilik tanah Ketajek sudah mengantongi bukti-bukti kepemilikan
yang sah menurut hukum dengan dikeluarkannya S.K. No. 50/ KA/ 1964 dari
Menteri Dalam Negeri RI yang telah memberikan jaminan hak kepemilikan
tanah yang ditindaklanjuti oleh S.K. Kepala Inspeksi Agraria Jawa Timur No.
1/ AGR/ 6/ XI/ 122/ HM/ III.
3. Pengaruh keberhasilan perjuangan petani Jenggawah dalam merebut tanah
yang lama dikuasai oleh perusahaan negara telah mengilhami masyarakat pemilik tanah Ketajek untuk memperjuangkan kembali tanahnya dari
Perusahaan daerah Perkebunan Jember.
4. Terjadinya Tragedi “Rabu Berdarah”, tanggal 21 April 1999, yang
menyebabkan jatuhnya korban jiwa, dan beberapa orang terluka parah akibat
ditembak, serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian
dalam konflik masyarakat pemilik tanah Ketajek dengan Pihak Perusahaan
Daerah Perkebunan Jember.
5. Masa berlaku Hak Guna Usaha untuk Perusahaan Daerah Perkebunan Jember
di tanah Ketajek yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1999, sedangkan
Perusahaan Daerah Perkebunan Jember, ingin memperpanjang Hak Guna
Usaha bagi tanah Ketajek.
Reformasi yang di tandai dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto memberikan
kebebasan bagi masyarakat di dalam menuntut hak-haknya yang selama ini dikuasai
oleh pemerintahan Orde baru. Reformasi inilah yang membuat rakyat Ketajek berani
maju dan memulai perjuangan untuk memperoleh tanah milik mereka dari
Perusahaan Daerah Perkebunan Jember. Di dalam memperjuangkan kembali tanah
milik mereka, berbagai macam cara pun di tempuh, melalui jalur hukum maupun
aksi-aksi demo, seperti long march dan aksi pengerahan massa, yang seringkali
dilakukan oleh para pemilik tanah Ketajek guna mengungkapkan ketidakpuasaan
mereka terhadap kebijakan dari Pemerintah Daerah TK II Kabupaten Jember maupun
dengan pihak yang berseteru dengan pemilik tanah Ketajek yakni, Perusahaan Daerah
Perkebunan Jember.
Adapun tanggapan pemerintah di dalam menghadapi tuntutan para petani
pemilik tanah Ketajek adalah dengan uang ganti rugi berupa “ tali asih” sebesar satu
milyar di Gedung DPRD Jember tanggal 7 Januari 2000. Pemerintah Daerah TK II
Kabupaten Jember, berusaha untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat
pemilik tanah Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan Jember dengan
mengeluarkan uang ganti rugi, namun ada beberapa orang dari pemilik tanah Ketajek
yang tidak mau menerima uang ganti rugi, karena merasa memiliki tanah tersebut. Walaupun beberapa dari masyarakat pemilik tanah Ketajek tidak mau menerima uang
ganti rugi dan terus berjuang untuk mendapatkan tanahnya kembali, Pemerintah
Daerah TK II Kabupaten Jember dan Perusahaan Daerah Perkebunan Jember tetap
mengelola kembali tanah yang menjadi sengketa dengan adanya perpanjangan Hak
Guna Usaha bagi tanah Ketajek dengan menganggap masalah sengketa tanah Ketajek
ini telah selesai dengan diberikannya ganti rugi uang, sebesar 1 milyar rupiah.