POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA
Abstract
Kemajuan ilmu teknologi kedokteran khususnya di bidang transplantasi
telah mendorong peningkatan tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia.
Aturan hukum mengenai transplantasi di Indonesia diatur dalam Pasal 33 ayat (2)
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut
UUK) yang menyatakan bahwa transplantasi hanya boleh dilakukan dengan
tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Pelanggaran atas
ketentuan ini, berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UUK dihukum pidana penjara
maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta. Namun, ketentuan
tersebut tidak efektif dalam rangka menanggulangi tindak pidana perdagangan
organ tubuh manusia. Kondisi ini tercermin dengan belum adanya pengenaan
sanksi hukum yang tegas bagi pelaku. Selain itu, ketentuan yang ada masih
banyak mengandung pro dan kontra berkaitan masalah etis tidaknya hal tersebut
dilakukan. Ketentuan pidana Pasal 80 ayat (3) juga menjadi suatu dilema dengan
diratifikasinya Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Right (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Pasal 1 ayat (1) undang-undang
tersebut menyatakan bahwa tiap individu berhak menentukan nasibnya sendiri.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami apakah
terdapat pertentangan antara ketentuan Pasal 80 ayat (3) UUK dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik serta
mengetahui apakah ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengenai hak individu untuk
menentukan nasibnya sendiri dapat menjadi alasan penghapus pidana bagi pelaku
tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia.
Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif,
pendekatan masalah adalah Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach),
Pendekatan Kasus (case approach), dan Pendekatan Konseptual (conceptual
approach). Bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder
serta analisis bahan hukum.
Kesimpulannya, bahwa antara ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal
80 ayat (3) Undang-Undang Kesehatan tidak bertentang dengan ketentuan Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2005. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1)
xii
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 mengenai hak seseorang untuk
menentukan nasibnya sendiri merupakan perwujudan hak pasien dalam hal
informed consent yang lahir dari hubungan antara dokter dengan pasien dalam
transaksi terapeutik. Dalam hubungannya tentang aspek hukum informed consent,
terdapat adanya suatu perjanjian yang berdasarkan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata yaitu: adanya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang
halal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa persetujuan hanya diperbolehkan
berdasarkan hal-hal yang sifatnya legal. Adapun ratio legis dari ketentuan Pasal
80 ayat (3) Undang-Undang Kesehatan ialah guna melindungi manusia hak asasi
manusia dari pengambilan organ secara melawan hukum. Sehingga di sini dapat
dikatakan bahwa hak individu dalam menentukan nasibnya sendiri, tidak dapat
dijadikan alasan penghapus pidana bagi pelaku tindak pidana perdagangan organ
tubuh manusia. Namun, dalam kasus-kasus tertentu terdapat alasan penghapus
pidana bagi pelaku tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia. alasan
penghapus pidana dalam hal ini berkaitan dengan penelitian ilmiah yang
dilakukan seorang dokter guna peningkatan mutu pelayanan kesehatan serta
peningkatan kesehatan masyarakat. Tujuan yang patut (meningkatkan kesehatan
masyarakat serta peningkatan mutu kesehatan) menjadi penghapus sifat melawan
hukumnya perbuatan
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]