Show simple item record

dc.contributor.authorNila Eka Sari
dc.date.accessioned2013-12-27T03:53:23Z
dc.date.available2013-12-27T03:53:23Z
dc.date.issued2013-12-27
dc.identifier.nimNIM080910302025
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/13384
dc.description.abstractDesa Jambewangi merupakan desa yang berada tepat di bawah Gunung Raung yang terletak di Kecamatan Sempu. Desa Jambewangi yang berada di dataran tinggi membuat pertanian di desa Jambewangi sangat maju, terbukti dengan banyaknya pertanian yang berkembang disana, namun perkembangan ini tidak di imbangi oleh kebutuhan akan tenaga manusia dalam proses pertanian, karena telah menggunakan tenaga mesin yang modern dan canggih. Sehingga meskipun pertanian maju, mereka tidak dapat bekerja dalam sektor ini, namun karena desa Jambewangi berbatasan langsung dengan hutan, maka masyarakatnya banyak yang bekerja dalam sektor kehutanan atau memanfaatkan sumberdaya hutan. Perajin tobos adalah salah satu kelompok masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan berupa bambu, pekerjaan atau ketrampilan membuat tobos ini, di awali oleh Pak Salam dan Pak Sirat sekitar tahun 1970-an, dalam prosesnya pekerjaan ini mengelola bambu hingga menjadi ketrampilan yang dianyam hingga membentuk kotak rapi dan dapat digunakan sebagai alat angkut barang. Pekerjaan sebagai perajin tobos ini yang hanya mengambil sumberdaya hutan tidak menjadikan para perajin tobos harus berpendidikan tinggi, sehingga tak jarang mereka hanya lulusan SD saja. Pekerjaan yang memiliki resiko tinggi ini mereka lakukan secara bersama-sama memasuki hutan, pekerjaan ini membuat para perajin tobos harus menjalin relasi yang kompleks dengan berbagai pihak, diantaranya Desa, Perhutani dan LMDH. Maka sesuai dengan latar belakang tersebut peneliti merumuskan masalah sebagai berikut “Bagaimana praktik perajin tobos di desa Jambewangi?” Penelitian ini menggunakan teori rumusan generative Pierre Bourdieu yang ingin menggali tentang habitus, ranah, modal dan praktik yang dilakukan para perajin tobos di Desa jambewangi. Habitus di artikan sebagai kebiasaan para perajin dalam kegiatannya sehari-hari, ranah sangat erat hubungannnya dengan posisi para perajin tobos dalam mencapai ranah kekuatan, dalam mencapainya maka para perajin harus mencapai posisi-posisi yang diinterkasikan dengan habitus. Dalam hal ini modal sangat erat kaitannya dengan praktik para perajin tobos dalam melakukan pekerjaannya dan menjaga relasi para perajin dengan berbagai pihak. Dan disinilah akan terlihat bagaimana para perajin tobos melakukan praktik. Tinjauan terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah: Tesis Irma F. Manurung, Tesis Untung Widyanto dan Tesis Meily Badriati. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme generatif yang ditawarkan sebagai kerangka teori dan metode untuk memahami kompleksitas realitas social pratik perajin tobos. Serta menggunakan paradigm kritis Paradigma ini mendefinisikan ilmu social sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real structures” di balik ilusi, false needs, yang di nampakkan dunia materi, dengan tujuan membentuk suatu kesadaran social agar memperbaiki dan merubah kondisi kehidupan manusia khususnya kehidupan para perajin tobos. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa desa sebagai ranah perajin tobos, didalamnya terdapat relasi-relasi yang terjalin sebagai keterkaitan satu sama lain. Desa dalam sejarahnya berdiri pada tahun 1930 dengan masyarakat yang pertama kali datang dari Kabupaten Blitar, mereka mengelola hutan sebagai tumpuan hidup. Kondisi geografis desa Jambewangi yang berada tepat di bawah Gunung Raung membuat desa Jambewangi memiliki pangkuan hutan yang berbeda dengan desa yang lain yang tidak memiliki batas wilayah dengan hutan, sehingga desa jambewangi memiliki karaktersitik yang berbeda dan banyak masyarakatnya yang bekerja dihutan, perajin tobos salah satunya. Perajin tobos mengelola sumberdaya hutan berupa bambu, dengan adanya nenek moyang mereka yang bersuku Jawa dari kabupaten Blitar, maka perajin tobos hanya dilakukan oleh suku Jawa, karena mereka memiliki ketelitian yang baik dan tekun. Perajin tobos yang menggunakan hutan sebagai tumpuan hidup, tidak memerlukan pendidikan yang tinggi dalam melakukan pekerjaannya, sehingga banyak perajin yang hanya lulusan SD, dengan pendidikan yang rendah membuat mereka berada dalam stratifikasi terendah karena pekerjaan mereka yang berat dan hasilnya sedikit, secara ekonomi mereka sangat kekurangan. Dalam melakukan pekerjaannya di dalam hutan, para perajin berelasi dengan Perhutani sebagai pemangku hutan dan LMDH sebagai lembaga desa yang berperan aktif dalam membantu masyarakat mengelola hutan. Disposisi Perajin Tobos, para perajin tobos dibedakan atas dua macam habitus dengan perbedaan pada klasifikasi sosio kultur sesuai dengan sarana transportasi yang mereka gunakan dalam memasuki hutan guna mencari bahan baku bambu, yaitu perajin tradisional yang menggunakan sepeda ontel dan perajin modern yang menggunakan sepeda motor, perajin ini memiliki kelompok sendiri-sendiri sesuai kendaraan yang mereka pakai, dalam setiap kelompok terdapat 2-8 orang. Kehidupan keseharian mereka dalam memasuki hutan hingga sampai dirumah sebagian besar sama, namun perbedaannya ada pada waktu, modal, pendapatan, serta kendaraan karena menggunakan sepeda motor, maka banyak keuntungan yang dapat dirasakan bagi perajin sepeda motor. Para perajin ini ketika sampai dirumah maka dalam mengelola bambu tersebut atau yang sering disebut iratan, memiliki bentuk-bentuk kerja yang berbeda-beda, bentuk kerja ini menjadi tipe perajin dalam mengelola bambu, yaitu perajin pemula atau pencari, perajin sampingan atau penganyam, perajin ahli atau pencari+penganyam. Dari ketiga tipe tersebut memiliki pekerjaan yang berbeda-beda yang berhubungan satu sama lain, hubungan ini lebih pada hubungan simbiosis mutualisme.meskipun perajin dibedakan atas 3 tipe tersebut, tak lantas membuat mereka terpisah atau terbagi, karena perajin telah membentuk suatu kelompok yang bernama “Bambu Arum”, kelompok ini dibentuk sebagai wadah masyarakat perajin tobos dalam menjalin hubungan yang rukun dan saling melindungi satu sama lain, karena pekerjaan perajin tobos yang sering bersinggungan dengan berbagai pihak, maka perlunya mereka membentuk wadah ini, agar terdapat perwakilan atau struktur yang baku dan dapat menjadi kader sebagai perwakilan perajin dalam melakukan segala hal. Relasi social dan praktik perajin tobos, dalam ranah para perajin tobos melakukan relasi sosial dan praktik dalam melakukan pekerjaannya. Dalam relasinya perajin menjalin relasi terhadap makelar sebagai pembeli atau perantara perdagangan tobos, mereka memiliki relasi yang baik dalam proses penjualan hasil produksi perajin tobos. Relasinya dengan desa mereka merupakan warga desa yang memiliki kewajiban dan hak kepada desanya, begitu juga desa dalam memberi perlindungan dan keamanan bagi kelangsungan hidup masyarakatnya, dalam hal ini desa membentuk lembaga LMDH sebagai wadah masyarakat desa hutan dalam mengelola sumberdaya hutan, sehingga melalui LMDH ini desa dapat mengatur dan mengawasi masyarakatnya, para perajin tobos yang tergabung dalam kelompok “Bambu Arum”, merupakan anggota LMDH “Mitra Hutan Lestari”, karena semua masyarakat yang mengelola hutan merupakan anggota LMDH, hanya saja keanggotaanya dibedakan yaitu ada anggota biasa dan anggota istimewa. Dalam kerjanya LMDH bermitra dengan Perhutani, keran Perhutanilah yang memiliki kewenangan dalam mengelola hutan ataupun dalam mengatur pola kerjayang ada dalam hutan, sehingga desa yang diwakili oleh LMDH bermitra dengan Perhutani dalam membantu masyarakat mengelola sumber daya hutan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries080910302025;
dc.subjectPraktik Perajin Tobosen_US
dc.titlePRAKTIK PERAJIN TOBOS (Studi tentang praktik perajin tobos di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi melalui perspektif Pierre Bourdieu)en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record