PRAKTIK PERAJIN TOBOS (Studi tentang praktik perajin tobos di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi melalui perspektif Pierre Bourdieu)
Abstract
Desa Jambewangi merupakan desa yang berada tepat di bawah Gunung
Raung yang terletak di Kecamatan Sempu. Desa Jambewangi yang berada di dataran
tinggi membuat pertanian di desa Jambewangi sangat maju, terbukti dengan
banyaknya pertanian yang berkembang disana, namun perkembangan ini tidak di
imbangi oleh kebutuhan akan tenaga manusia dalam proses pertanian, karena telah
menggunakan tenaga mesin yang modern dan canggih. Sehingga meskipun pertanian
maju, mereka tidak dapat bekerja dalam sektor ini, namun karena desa Jambewangi
berbatasan langsung dengan hutan, maka masyarakatnya banyak yang bekerja dalam
sektor kehutanan atau memanfaatkan sumberdaya hutan.
Perajin tobos adalah salah satu kelompok masyarakat yang memanfaatkan
sumberdaya hutan berupa bambu, pekerjaan atau ketrampilan membuat tobos ini, di
awali oleh Pak Salam dan Pak Sirat sekitar tahun 1970-an, dalam prosesnya pekerjaan
ini mengelola bambu hingga menjadi ketrampilan yang dianyam hingga membentuk
kotak rapi dan dapat digunakan sebagai alat angkut barang. Pekerjaan sebagai perajin
tobos ini yang hanya mengambil sumberdaya hutan tidak menjadikan para perajin
tobos harus berpendidikan tinggi, sehingga tak jarang mereka hanya lulusan SD saja.
Pekerjaan yang memiliki resiko tinggi ini mereka lakukan secara bersama-sama
memasuki hutan, pekerjaan ini membuat para perajin tobos harus menjalin relasi yang
kompleks dengan berbagai pihak, diantaranya Desa, Perhutani dan LMDH. Maka
sesuai dengan latar belakang tersebut peneliti merumuskan masalah sebagai berikut
“Bagaimana praktik perajin tobos di desa Jambewangi?” Penelitian ini menggunakan teori rumusan generative Pierre Bourdieu yang
ingin menggali tentang habitus, ranah, modal dan praktik yang dilakukan para perajin
tobos di Desa jambewangi. Habitus di artikan sebagai kebiasaan para perajin dalam
kegiatannya sehari-hari, ranah sangat erat hubungannnya dengan posisi para perajin
tobos dalam mencapai ranah kekuatan, dalam mencapainya maka para perajin harus
mencapai posisi-posisi yang diinterkasikan dengan habitus. Dalam hal ini modal
sangat erat kaitannya dengan praktik para perajin tobos dalam melakukan
pekerjaannya dan menjaga relasi para perajin dengan berbagai pihak. Dan disinilah
akan terlihat bagaimana para perajin tobos melakukan praktik. Tinjauan terdahulu
yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah: Tesis Irma F. Manurung,
Tesis Untung Widyanto dan Tesis Meily Badriati.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme generatif yang
ditawarkan sebagai kerangka teori dan metode untuk memahami kompleksitas realitas
social pratik perajin tobos. Serta menggunakan paradigm kritis Paradigma ini
mendefinisikan ilmu social sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha
mengungkap “the real structures” di balik ilusi, false needs, yang di nampakkan dunia
materi, dengan tujuan membentuk suatu kesadaran social agar memperbaiki dan
merubah kondisi kehidupan manusia khususnya kehidupan para perajin tobos.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa desa sebagai ranah perajin
tobos, didalamnya terdapat relasi-relasi yang terjalin sebagai keterkaitan satu sama
lain. Desa dalam sejarahnya berdiri pada tahun 1930 dengan masyarakat yang
pertama kali datang dari Kabupaten Blitar, mereka mengelola hutan sebagai tumpuan
hidup. Kondisi geografis desa Jambewangi yang berada tepat di bawah Gunung
Raung membuat desa Jambewangi memiliki pangkuan hutan yang berbeda dengan
desa yang lain yang tidak memiliki batas wilayah dengan hutan, sehingga desa
jambewangi memiliki karaktersitik yang berbeda dan banyak masyarakatnya yang
bekerja dihutan, perajin tobos salah satunya. Perajin tobos mengelola sumberdaya
hutan berupa bambu, dengan adanya nenek moyang mereka yang bersuku Jawa dari kabupaten Blitar, maka perajin tobos hanya dilakukan oleh suku Jawa, karena mereka
memiliki ketelitian yang baik dan tekun. Perajin tobos yang menggunakan hutan
sebagai tumpuan hidup, tidak memerlukan pendidikan yang tinggi dalam melakukan
pekerjaannya, sehingga banyak perajin yang hanya lulusan SD, dengan pendidikan
yang rendah membuat mereka berada dalam stratifikasi terendah karena pekerjaan
mereka yang berat dan hasilnya sedikit, secara ekonomi mereka sangat kekurangan.
Dalam melakukan pekerjaannya di dalam hutan, para perajin berelasi dengan
Perhutani sebagai pemangku hutan dan LMDH sebagai lembaga desa yang berperan
aktif dalam membantu masyarakat mengelola hutan.
Disposisi Perajin Tobos, para perajin tobos dibedakan atas dua macam habitus
dengan perbedaan pada klasifikasi sosio kultur sesuai dengan sarana transportasi yang
mereka gunakan dalam memasuki hutan guna mencari bahan baku bambu, yaitu
perajin tradisional yang menggunakan sepeda ontel dan perajin modern yang
menggunakan sepeda motor, perajin ini memiliki kelompok sendiri-sendiri sesuai
kendaraan yang mereka pakai, dalam setiap kelompok terdapat 2-8 orang. Kehidupan
keseharian mereka dalam memasuki hutan hingga sampai dirumah sebagian besar
sama, namun perbedaannya ada pada waktu, modal, pendapatan, serta kendaraan
karena menggunakan sepeda motor, maka banyak keuntungan yang dapat dirasakan
bagi perajin sepeda motor. Para perajin ini ketika sampai dirumah maka dalam
mengelola bambu tersebut atau yang sering disebut iratan, memiliki bentuk-bentuk
kerja yang berbeda-beda, bentuk kerja ini menjadi tipe perajin dalam mengelola
bambu, yaitu perajin pemula atau pencari, perajin sampingan atau penganyam, perajin
ahli atau pencari+penganyam. Dari ketiga tipe tersebut memiliki pekerjaan yang
berbeda-beda yang berhubungan satu sama lain, hubungan ini lebih pada hubungan
simbiosis mutualisme.meskipun perajin dibedakan atas 3 tipe tersebut, tak lantas
membuat mereka terpisah atau terbagi, karena perajin telah membentuk suatu
kelompok yang bernama “Bambu Arum”, kelompok ini dibentuk sebagai wadah
masyarakat perajin tobos dalam menjalin hubungan yang rukun dan saling melindungi satu sama lain, karena pekerjaan perajin tobos yang sering bersinggungan
dengan berbagai pihak, maka perlunya mereka membentuk wadah ini, agar terdapat
perwakilan atau struktur yang baku dan dapat menjadi kader sebagai perwakilan
perajin dalam melakukan segala hal.
Relasi social dan praktik perajin tobos, dalam ranah para perajin tobos
melakukan relasi sosial dan praktik dalam melakukan pekerjaannya. Dalam relasinya
perajin menjalin relasi terhadap makelar sebagai pembeli atau perantara perdagangan
tobos, mereka memiliki relasi yang baik dalam proses penjualan hasil produksi
perajin tobos. Relasinya dengan desa mereka merupakan warga desa yang memiliki
kewajiban dan hak kepada desanya, begitu juga desa dalam memberi perlindungan
dan keamanan bagi kelangsungan hidup masyarakatnya, dalam hal ini desa
membentuk lembaga LMDH sebagai wadah masyarakat desa hutan dalam mengelola
sumberdaya hutan, sehingga melalui LMDH ini desa dapat mengatur dan mengawasi
masyarakatnya, para perajin tobos yang tergabung dalam kelompok “Bambu Arum”,
merupakan anggota LMDH “Mitra Hutan Lestari”, karena semua masyarakat yang
mengelola hutan merupakan anggota LMDH, hanya saja keanggotaanya dibedakan
yaitu ada anggota biasa dan anggota istimewa. Dalam kerjanya LMDH bermitra
dengan Perhutani, keran Perhutanilah yang memiliki kewenangan dalam mengelola
hutan ataupun dalam mengatur pola kerjayang ada dalam hutan, sehingga desa yang
diwakili oleh LMDH bermitra dengan Perhutani dalam membantu masyarakat
mengelola sumber daya hutan.