Kepastian Hukum Pengaturan Larangan Janji Kepemilikan Objek Jaminan oleh Kreditur Akibat Debitur Wanprestasi terhadap Keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan
Abstract
UUHT mengatur larangan pencantuman janji vervalbeding terurai pada pasal 12 
UUHT, tetapi tidak menjelaskan keabsahan APHT apabila larangan ini dilanggar, 
seperti pasal 11 ayat (1) dan (2) UUHT. Mengingat dalam rumusannya menguraikan 
suatu “janji kepemilikan objek hak tanggungan oleh kreditur bila debitur wanprestasi, 
batal demi hukum”, Hal ini menimbulkan multitafsir terhadap keabsahan APHT.
Menginggat APHT merupakan akta partij yang pembuatannya harus memenuhi syarat 
sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Jika syarat ini tidak terpenuhi, akta dapat 
dibatalkan atau batal demi hukum. Adapun rumusan masalah yang diambil: (1) Apa 
Ratio legis larangan janji vervalbeding pada lembaga hak tanggungan? (2) Apakah 
pengaturan larangan janji vervalbeding memberikan kepastian hukum terhadap 
keabsahan APHT? dan (3) Bagaimana konsep pengaturan ke depan terkait larangan 
janji vervalbeding?
Metode yang digunakan yuridis normatif dengan pendekatan perundang undangan, konseptual, serta kasus. Pengumpulan bahan hukum dengan teknik studi 
kepustakaan.
Hasil penelitian, (1) Ratio legis larangan janji vervalbeding didasarkan pada 
prinsip perlindungan proporsional dan hak jaminan kebendaan hanya untuk pelunasan 
utang melalui mekanisme pasal 20 UUHT dengan harapan memeroleh harga tertinggi, 
bukan untuk kepemilikan kreditur. Tujuannya melindungi nilai objek jaminan melebihi 
utang yang ditanggung. Hal ini juga membatasi asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 
KUHPerdata). (2) Pasal 12 UUHT belum memberikan kepastian hukum terhadap 
keabsahan APHT ditinjau melalui tiga dari delapan kriteria kepastian hukum lon fuller. 
Berasarkan teks rumusannya, mengartikan hanya janji vervalbeding dianggap batal, 
artinya APHT tetap sah. Namun, dari perspektif Pasal 1320 KUHPerdata, janji tersebut 
melanggar syarat objektif “sebab yang diperbolehkan,” sehingga APHT dapat 
dianggap tidak sah. (3) Pengaturan ke depan harus menambahkan penegasan dalam 
ayat Pasal 12 UUHT bahwa keberadaan janji vervalbeding tidak memengaruhi 
keabsahan APHT, agar kreditur tetap memiliki hak prioritas atas jaminan. Sehingga 
terwujudnya eksistensi dari asas perlindungan yang seimbang dalam hukum jaminan.
Saran penelitian mencakup kehati-hatian masyarakat dalam mencantumkan 
klausula dalam perjanjian atau APHT, penguatan legislasi pada Pasal 12 UUHT untuk 
menjamin keabsahan APHT, dan pertimbangan hakim dalam menilai keabsahan APHT
sesuai dengan rumusan teks pasal 12 UUHT yang hanya berakibat batal kalusulnya 
saja.
Collections
- MT-Science of Law [363]