Menjaga Taman Dewata: Kawasan Konservasi Alam Bali Barat Tahun 1947-2014
Abstract
Penelitian ini mengkaji dinamika perubahan status kawasan Bali Barat yang beberapa kali mengalami perubahan status untuk kepentingan lingkungan. Kawasan Bali Barat untuk pertama kalinya ditunjuk sebagai kawasan taman pelindung alam atau dikenal dengan suaka margasatwa oleh Dewan Raja-Raja di Bali pada tahun 1947 hingga kawasan Bali Barat ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2014. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini yaitu mengenai kondisi ekologi kawasan Bali Barat, proses perubahan status kawasan Bali Barat, keanekaragaman flora fauna dan dampak dari adanya konservasi terhadap masyarakat yang dekat kawasan konservasi atau desa penyangga. Penulis mengkaji dengan pendekatan ekologi politik dan menggunakan metode sejarah dari Louis Gottschalk. Metode tersebut meliputi pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Melihat potensi sumber daya alam dan ditemukannya burung unik yaitu Jalak Bali, akhirnya kawasan Bali Barat dijadikan sebagai kawasan suaka margasatwa. Jalak Bali dijadikan sebagai simbol Bali karena mencerminkan keindahan Indonesia terutama Bali. Aktivitas manusia yang selalu memanfaatkan hasil sumber daya alam di hutan membuat kondisi hutan mengalami penurunan. Konservasi yang dilakukan di kawasan Bali Barat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sekitar atau desa penyangga. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan konservasi salah satunya yaitu kebiasaan buruk masyarakat yang mengambil hasil hutan secara terus menerus mulai berkurang, kepedulian terhadap flora, fauna dan lingkungan juga meningkat. Penunjukan kawasan Bali Barat dilakukan pada tahun 1995 dan ditetapkan pada tahun 2014. Perubahan status dilakukan sebagai upaya dari pemerintah menyelamatkan hutan dan ekosistem yang ada di dalamnya.