Kepastian Hukum Harta Bersama Pada Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Selama Perkawinan Berlangsung
Abstract
Perubahan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperluas pernyataan yang sebelumnya menyatakan bahwa perjanjian perkawinan tersebut dibuat hanya pada waktu atau sebelum perkawinan kemudian dirubah menjadi pada waktu, sebelum atau selama dalam ikatan perkawinan. Hal tersebut sangat berpengaruh pada perkawinan yang sudah berlangsung, yang sbelumnya tidak bisa membuat perjanjian perkawinan kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung. Kemudian pada perkawinan poligami, terdapat beberapa perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami dengan istri pertama dan suami dengan istri kedua, hal tersebut sangat rawan adanya permasalahan yang muncul terutama dalam hal pembagian harta bersama pada perjanjian perkawinan pertama dan perjanjian kedua.
Penelitian ini memiliki 3 (tiga) tujuan yakni menelaah kepastian hukum harta bersama pada perkawinan pertama dapat diperjanjikan di perkawinan kedua, menyimpulkan perlindungan hukum perjanjian perkawinan yang seharusnya mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi pihak ketiga dan mengkonsepkan hukum kedepannya agar perjanjian perkawinan pertama mempunyai kepastian hukum terhadap pihak ketiga. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan 3 (tiga) pendekatan masalah yakni pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus.
Hasil penelitian ini meliputi, bahwa harta bersama pada perkawinan pertama tidak dapat diperjanjikan kembali di perkawinan kedua. Hal tersebut dikarenakan harta bersama telah diatur dalam Pasal 94 Ayat 1 dan Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang diperkuat oleh Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 menjelaskan bahwa hak atas harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri pertama dalam perkawinan poligami akan dipisah dan berdiri sendiri sejak berlangsungnya akad perkawinan dengan istri kedua. Konsep kedepan agar perjanjian perkawinan pertama mempunyai kepastian hukum terhadap pihak ketiga bahwa suatu perjanjian yang dituangkan adalah dalam bentuk akta autentik, maka akan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya hakim terikat pada kebenaran formil dan materiil terhadap akta autentik yang diajukan kepadanya sebagai bukti di depan persidangan, kecuali dengan bukti lawan dapat membuktikan sebaliknya. Keberadaan unsur publisitas juga harus dipenuhi dalam perjanjian perkawinan yang selaras dengan amanat Pasal 29 ayat (2) UUPerkwainan. Fungsi pencatatan dalam register umum adalah untuk memenuhi asas publisitas semata-mata agar perjanjian perkawinan diketahui oleh pihak ketiga sehingga dapat diberlakukan terhadap pihak ketiga terkait. Fungsi publisitas dari pencatatan tidak mungkin disyaratkan bagi berlakunya perjanjian perkawinan terhadap suami-istri yang membuatnya, karena dengan membuat dan menandatangani sendiri perjanjian perkawinan tersebut maka sudah pasti pihak suami dan istri tersebut telah mengetahui adanya perjanjian yang dibuatnya.
Melalui penelitian ini peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut, perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah dengan membentuk adanya aturan baru yang mengatur mengenai pelaksanaan asas publisitas pada perjanjian perkawinan terutama pada perkawinan poligami. Terlebih terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan agar lebih mudah diketahui oleh pihak ketiga yang tersangkut (kreditur dan istri kedua). Hal ini merupakan upaya agar pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak disalahgunakan oleh pasangan suami istri dalam membuat perjanjian perkawinan. Penyalahgunaan dalam hal ini dapat berupa itikad tidak baik pasangan suami istri, ketidakjujuran pasangan mengenai daftar harta kekayaan yang turut serta dalam perjanjian perkawinan hingga penyelundupan hukum terkait harta yang sedang dijadikan jaminan sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Belum diaturnya jangka waktu pendaftaran dan pengesahan perjanjian perkawinan berpotensi menimbulkan permasalahan dikemudian hari bagi pihak ketiga, lebih dari itu tidak diaturnya jangka waktu pengajuan pengesahan perjanjian kawin juga akan berpotensi menimbulkan masalah pada saat terjadi poligami.
Collections
- MT-Science of Law [334]