dc.description.abstract | Kepastian Hukum Pembuktian Sederhana Utang Debitor Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU); Eka Putri Amalia Sari, 190710101333; 2023; 97 Halaman, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember. Pengaturan pembuktian sederhana memiliki banyak kekurangan baik dari segi penjelasan maupun batasan. Meskipun demikian, majelis hakim menggunakan pembuktian tidak sederhana sebagai alasan menolak permohonan PKPU. Salah satu permohonan PKPU yang ditolak akibat pembuktian tidak sederhana ada pada Putusan Nomor 289/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst yang diajukan oleh PT. My Indo Airlines terhadap PT. Garuda Indonesia Tbk. permohonan PKPU tersebut berawal dari perjanjian kerjasama dengan bentuk perjanjian sewa menyewa yang diakhiri dengan Berita Acara Penyelesaian Kerjasama dengan dua termin pembayaran. Namun pada termin kedua PT. Garuda Indonesia Tbk tidak dapat melunasi utangnya. proses pembuktian sederhana pada pertimbangan hakim dalam pembuktian keberadaan utang sesuai Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, memiliki ketidakjelasan, sehingga perlu dikaji terkait kepastian hukumnya. Pembuktian tidak sederhana disebabkan oleh permasalahan PPN dalam perjanjian sewa menyewa, sehingga apakah tagihan PPN dapat digolongkan sebagai utang atau tidak dalam perkara PKPU. Begitu juga pertimbangan hukum Hakim yang menyatakan permohonan PKPU memeriksa permohonan PKPU dalam putusan tersebut sudah sesuai dengan norma pembuktian sederhana atau tidak. Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat permasalahan yang dirumuskan menjadi tiga rumusan masalah yakni pertama, apakah Pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 dapat memberikan kepastian hukum terhadap pembuktian sederhana dalam PKPU. Kedua, apakah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat digolongkan sebagai utang dalam pembuktian sederhana PKPU. Ketiga, apakah pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa permohonan PKPU sesuai dengan norma pembuktian sederhana PKPU. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk meneliti dan menganalisa mengenai kepastian hukum Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 terhadap pembuktian sederhana dalam PKPU, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang belum dibayarkan sebagai utang dalam pembuktian sederhana PKPU dan kesesuaian pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa permohonan PKPU dengan norma pembuktian sederhana. Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua tujuan yakni umum dan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai syarat wajib dalam menyelesaikan studi ilmu hukum dan untuk mendapatkan gelar sarjana. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk meneliti dan menganalisa kepastian hukum pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, penggolongan tagihan PPN sebagai utang dalam pembuktian sederhana PKPU serta kesesuaian pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa permohonan PKPU dengan norma pembuktian sederhana. Metode penelitian yang digunakan dalam membahas permasalahan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundangundangan, yakni analisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan hukum. Selain itu, juga menggunakan pendekatan konseptual yakni analisis permasalahan melalui konsep, doktrin dan asas. Serta pendekatan kasus yakni analisis melalui kasus atau putusan hakim yang berkaitan dengan permasalahan hukum. Hasil dari penelitian ini yakni kepastian hukum dipengaruhi oleh adanya peraturan hukum yang jelas dan konsisten. Berdasarkan asas keadilan berkepastian untuk mewujudkan keadilan dalam UU Kepailitan dan PKPU diperlukan kepastian hukum. Namun terdapat multafsir atau ketidakjelasan dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur pembuktian sederhana. Tagihan PPN dalam perjanjian sewa menyewa dapat berubah menjadi utang disebabkan oleh adanya ingkar janji atau tindakan lalai yang dilakukan oleh salah satu pihak. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 6 jo Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU bahwa utang dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang, yakni utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Sehingga tagihan PPN yang belum dibayarkan dapat digolongkan sebagai utang dalam pembuktian sederhana PKPU. Kesesuaian pertimbangan hukum dan norma pembuktian sederhana diambil berdasarkan dua putusan pengadilan niaga terkait pembuktian sederhana. Berdasarkan norma dalam pembuktian sederhana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU serta SK KMA No. 109 Tahun 2020 dan dua putusan hakim yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat dua aspek yang menyebabkan pembuktian menjadi tidak sederhana yakni utang yang diakui dan utang yang dapat dibuktikan oleh pemohon. Kesimpulan dari penelitian ini yakni yang pertama substansi dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU menunjukkan bahwa adanya multitafsir dan inkonsistensi sehingga pengaturan pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU tidak memenuhi kepastian hukum. Kedua, penggolongan utang dalam pembuktian sederhana PKPU terdapat dalam Pasal 1 angka 6 jo. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, yakni utang dalam artian luas dan jatuh tempo. Dengan demikian, tagihan PPN yang belum dibayarkan tergolong sebagai utang dalam pembuktian sederhana PKPU. Ketiga, kesesuaian pertimbangan hukum hakim dengan norma pembuktian sederhana di analisis melalui dua putusan pengadilan sebagai contoh penerapan pembuktian sederhana. Berdasarkan lima aspek dari norma pembuktian sederhana, pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa permohonan PKPU telah sesuai dengan norma pembuktian sederhana. Penulis selanjutnya memberikan saran terhadap hasil penelitian ini, Pertama Seyogianya dalam penyelesaian pembuktian dalam PKPU hendaknya menggunakan pembuktian sesuai hukum acara perdata, yang termaktub dalam Pasal 299 UU Kepailitan dan PKPU. Oleh karena itu diperlukan tindakan pemerintah untuk segera melakukan perubahan UU Kepailitan dan PKPU sehingga tidak terjadi permasalahan akibat ketidakjelasan substansi di masa yang akan datang. Kedua, Seyogianya dalam pembuktian sederhana PKPU, permasalahan rumit seperti tagihan PPN yang tergolong sebagai utang dapat diselesaikan di pengadilan niaga tanpa pembuktian lebih lanjut di pengadilan negeri. Ketiga, Seyogianya Pertimbangan hukum hakim dalam pembuktian sederhana memiliki keterbatasan dari segi penjelasan. Pengaturan mengenai pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU tidak memenuhi kepastian hukum sehingga hakim harus dapat menjelaskan alasan dalam penyelesaian perkara, terutama dalam memutus dikabulkan atau tidaknya suatu permohonan PKPU. | en_US |
dc.description.sponsorship | Iswi Hariyani, S.H., M.H.
Dr. Bhim Prakoso, S.H, M.M., Sp.N., M.H. | en_US |