dc.description.abstract | Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 menjelaskan
bahwa kekuatan eksekusi pada jaminan fidusia ada pada Pasal 15 Ayat 3 UU
Jaminan Fidusia. Namun, parate eksekusi hanya dapat dilaksanakan jika terdapat
kesepakatan debitur dan tidak adanya upaya hukum. Masalah sering terjadi karena
kurangnya pemahaman hukum dari kedua belah pihak, sehingga debitur
memprotes tindakan kreditur yang melakukan eksekusi. Parate eksekusi
sebenarnya dapat disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan, tetapi jika
diperlukan penetapan ketua pengadilan, hal ini memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan eksekusi berdasarkan putusan pengadilan. Namun, tindakan gegabah
dan kurang memperhatikan konsekuensi hukum dalam perjanjian dapat
menyebabkan parate eksekusi dianggap melanggar hukum. Oleh karena itu,
penting untuk memahami peraturan hukum dan memperhatikan ketentuan dalam
perjanjian demi mencegah tindakan yang merugikan kedua belah pihak. Berdasar
latar belakang tersebut, penulis merumuskan dua rumusan masalah yaitu: 1. Apa
Ratio decidendi dalam menentukan kesalahan pelaksanaan parate eksekusi dalam
putusan Nomor 3/Pdt.G/2021/PN.Rhl? 2. Bagaimana akibat hukum jika terjadi
kesalahan pelaksanaan parate eksekusi dalam perkara wanprestasi sebagai
perbuatan melawan hukum?.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Ratio
decidendi dalam menentukan kesalahan pelaksanaan parate eksekusi dalam
putusan Nomor 3/Pdt.G/2021/PN Rhl. Dan untuk mengetahui akibat Hukum jika
terjadi kesalahan parate eksekusi dalam perkara wanprestasi sebagai perbuatan
melawan hukum. Penelitian skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif
dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan
hukum primer serta bahan hukum sekunder dengan menggunakan metode
pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan (library research) dengan analisis
penelitian menggunakan metode deduktif.
Parate eksekusi sendiri sebenarnya tidak tertuang secara gamblang dalam
aturan perundang-undangan dimana menurut kamus hukum berarti pelaksanaan
langsung tanpa adanya proses pengadilan hakim. Dalam permasalahan ini menjual
hak tanggungan atas kekuasaan sendiri bilamana debitur wanprestasi adalah
melakukan hak eksekusi yang dimana saat ini ada jaminan hukum berupa undang
undang kepada kreditur atas pemegang hak tanggungan yang disebut dengan
parate eksekusi. Pertimbangan hakim putusan Nomor 3/Pdt.G/2021/PN Rhl sudah
merujuk pada seluruh aspek kepastian hukum, aspek kemanfaatan hukum, dan
aspek keadilan. Pertimbangan hukum hakim ini tidak hanya adil dilihat dari segi
kepastian hukumnya saja, melainkan juga adil dilihat dari taat atau tidaknya para
pihak dalam melaksanakan kewajiban atau prestasi sesuai dengan isi perjanjian.
pertimbangan hakim dianggap memadai dan mengikuti aspek keadilan, meskipun
penggugat mungkin bersalah dalam rangkaian peristiwa. Selain itu, berdasarkanPasal 15 ayat (3) UU 42 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Jaminan Fidusia,
pihak tergugat dianggap lalai. Akibat Hukum Pelaksanaan Parate Eksekusi
dalam Perkara Wanprestasi sebagai Perbuatan Melawan Hukum dalam Putusan
Nomor 3/Pdt.G/2021/PN Rhl mengharuskan Tergugat membayar kerugian
materiil dan imateril kepada Penggugat sebagai kompensasi atas dampak
emosional, mental, dan reputasi yang dialami akibat tindakan yang tidak sah
tersebut. Mengacu pada Pasal 1365 KUH Perdata, hakim menegaskan bahwa
Tergugat harus memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh Penggugat
akibat dari perbuatannya yang melanggar hukum. Dalam hal ini, kerugian materil
yang dihitung berdasarkan nilai piutang Penggugat yang tidak terbayarkan, serta
kerugian imateril yang mencakup dampak emosional, mental, dan reputasi yang
diderita oleh Penggugat sebagai akibat dari tindakan Tergugat. Pertimbangan
dampak psikologis yang dialami oleh Penggugat menguatkan tuntutan bahwa
Tergugat harus bertanggung jawab atas segala akibat hukum dari tindakan
mereka. Pembayaran biaya perkara kepada Tergugat yang ditetapkan oleh hakim
juga menekankan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam proses peradilan harus
menanggung beban finansial sebagai akibat dari tindakan mereka.
Kesimpulan dalam skripsi ini yaitu pertama, Ratio decidendi dalam
menentukan kesalahan pelaksanaan parate eksekusi dalam putusan Nomor
3/Pdt.G/2021/PN Rhl ialah sesuai dengan amar kedua Pasal 15 Ayat 2 Undang-
Undang Jaminan Fidusia menegaskan bahwa Jaminan Fidusia yang tidak ada
kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan
secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan
prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus
dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, Akibat hukum pelaksanaan parate
eksekusi dalam perkara wanprestasi sebagai Perbuatan Melawan Hukum dalam
Putusan Nomor 3/Pdt.G/2021/PN Rhl sebaiknya hakim memperhatikan terkait
Tergugat harus membayar kerugian materiil dan imateril kepada Penggugat
sebagai kompensasi atas dampak emosional, mental, dan reputasi yang dialami
akibat tindakan yang tidak sah tersebut. Keputusan ini mengikuti prinsip hukum
yang menuntut pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum untuk
mengganti rugi kerugian yang timbul. Penting bagi pihak berwenang atau
pengadilan untuk memberikan keadilan yang seimbang bagi kedua belah pihak
dalam menyelesaikan masalah hukum tentang cedera janji/wanprestasi hutang
piutang. Saran yang bisa diberikan adalah: Pertama, lembaga pembiayaan atau
kreditur sebaiknya melibatkan tim berpengalaman dalam menangani masalah
hukum dan penyelesaian sengketa sebelum membuat perjanjian kredit. Tim ini
dapat menganalisis risiko dan memberikan saran yang tepat. Kedua, penting bagi
pihak berwenang atau pengadilan untuk memberikan keadilan yang seimbang
dalam menyelesaikan masalah hukum tentang cedera janji/wanprestasi hutang
piutang. Mereka harus memahami perspektif dan argumen dari setiap pihak
sebelum membuat keputusan. | en_US |