Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Yang Melakukan Kredit Kepemilikan Rumah Sebelum Perkawinan
Abstract
Pembelian rumah secara KPR sebelum perkawinan dan sisa pembayaran
dilakukan dalam perkawinan akan menjadi masalah ketika terjadi perceraan,
apakah rumah merupakan harta bawaan atau harta bersama. Rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu (1) KPR yang dilakukan sebelum perkawinan namun
pembayaran angsurannya menggunakan harta Bersama dapat dikategorikan sebagai
harta Bersama (2) bentuk perlindungan hukum terhadap debitur yang melakukan
kredit kepemilikan rumah sebelum melangsungkan perkawinan (3) konsep
perlindungan hukum bagi debitur yang melakukan kredit kepemilikan rumah
sebelum dilangsungkannya perkawinan. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian
Yuridis Normatif dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan
perundang-undangan, pendekatan konspetual dan pendekatan kasus.
Kerangka teoretis dan konseptual terdiri atas teori perlindungan hukum,
pengertian perjanjian kredit, jenis-jenis kredit, pengertian perkawinan, perjanjian
kawin, Harta dalam perkawinan, harta bawaan, harta bersama, dan perjanjian kredit
kepemilikan rumah.
Hasil pembahasan dari penelitian ini yakni (1) Akad pembelian rumah
secara KPR yang dilakukan sebelum perkawinan tetapi pembayarannya
menggunakan harta dalam ikatan perkawinan termasuk harta bawaan dikarenakan
harta didapatkan sebelum perkawinan yang dapat dikategorikan sebagai harta
bawaan sebagaimana maksud dalam Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan. (2)
Perlindungan hukum yang dapat digunakan adalah melakukan perjanjian
perkawinan antara debitur dengan pasangannya, yang berfungsi sebagai sarana
untuk melindungi, memisahkan harta bawaan dan harta bersama. 3) Konsep
perlindungan hukum bagi debitur yang melakukan kredit kepemilikan rumah
sebelum dilangsungkan perkawinan selain dengan perjanjian perkawinan,
diperlukan adanya pembaharuan regulasi yang ditetapkan pemerintah tentang dasar
pemisahan harta perkawinan pada rumah KPR. Dalam Pasal 32 ayat (2) UU
Perkawinan diperlukan pembaharuan dengan menambahkan poin mengenai
penentuan kediaman yang yang diperoleh melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR),
baik sebelum maupun selama perkawinan berlangsung, selain itu perlu adanya
penyelesaian sengketa terhadap pembagian harta perkawinan dalam bentuk rumah
KPR oleh pasangan suami dan istri, sehingga dengan adanya pembaharuan ini dapat
memberikan kepastian hukum dalam pembagian harta perkawinan dalam bentuk
rumah KPR.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu (1) Kredit Pemilikan Rumah sebelum
dilangsungkannya perkawinan yang pembayaran kreditnya menggunakan harta
bersama tidak termasuk harta bersama melainkan termasuk harta bawaan,
mengingat harta bawaan adalah harta yang dimiliki sebelum terjadinya perkawinan,
sehingga segala harta yang didapatkan sebelum terjadinya perkawinan termasuk
dengan objek dalam akad pembelian secara kredit sebelum di langsungkannya
perkawinan yang pembayarannya menggunakan harta bersama dapat disebut
sebagai harta bawaan selama para pihak tidak melakukan Perjanjian Perkawinan.
(2) Perlindungan hukum terhadap debitur yang melakukan kredit kepemilikan
rumah sebelum melangsungkan perkawinan dengan membuat perjanjian
perkawinan untuk melindungi harta bawaan debitur terhadap harta bawaan
xi
pasangannya, sehingga harta perkawinan dapat dipisahkan antara harta bawaan dan
harta bersama, ketika nantinya terjadi perceraian maka pembagian harta
perkawinan sesuai dengan perjanjian perkawinan yang telah disepakati antara
debitur dengan pasanganya. (3) Konsep perlindungan hukum bagi debitur yang
melakukan KPR sebelum dilangsungkannya perkawinan namun pada proses
pembayaran angsuran KPR tersebut dibawa masuk ke dalam sebuah ikatan
perkawinan, maka untuk menghindari terjadinya polemik di kemudian hari, sangat
disarankan membuat sebuah perjanjian kawin yang dibuat dihadapan Pegawai
Pencatat perkawinan atau Notaris, yang khususnya memuat tentang pembagian
harta perkawinan berupa rumah yang pembeliannya menggunakan sistem KPR,
Konsep ini harus ditindak lanjuti sebagaimana di amanatkan oleh pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Diperlukan pembentukan hukum baru dalam bentuk revisi
pada UUP untuk kemudian ditindak lanjuti dalam bentuk Peraturan Pemerintah
sebagai pelaksana dari Undang-Undang untuk mendapatkan produk hukum yang
memberikan rasa keadilan dan kepastian bagi warga negara.
Collections
- MT-Science of Law [334]