Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dalam Parlemen Australia
Abstract
Isu kekerasan seksual masih menjadi permasalahan serius bagi perempuan
di parlemen Australia. Menurut laporan pada 2021 oleh Komisioner Diskriminasi
Seks menyebutkan, 1 dari 3 perempuan di parlemen pernah mengalami pelecehan
seksual saat bekerja disana. Hal ini sebagaimana yang dialami Sarah HansonYoung dan Julia Gillard. Tidak hanya pelecehan, pemerkosaan juga terjadi di
Parlemen Australia sebagaimana yang dialami Brittany Higgins. Jika melihat
kondisi Australia, perempuan disana sebenarnya telah banyak mencapai
kesetaraan dan pemberdayaan politik. Dari segi hukum juga telah ada Sex
Discrimination Act 1984. Bahkan, anggaran pun telah banyak dikeluarkan
pemerintah untuk pemberdayaan perempuan. Selain itu, Australia juga merupakan
negara demokrasi maju yang mempunyai perhatian tinggi atas Hak Asasi Manusia
(HAM). Kondisi tersebut seharusnya membawa perempuan Australia lepas dari
isu kekerasan seksual. Namun, kekerasan seksual masih banyak terjadi di
Parlemen Australia. Penelitian ini bertujuan mencari penjelasan penyebab masih
banyaknya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam parlemen Australia.
Penelitian ini menggunakan teori feminisme radikal-libertarian serta
konsep patriarki, seksisme dan kekerasan seksual. Feminisme radikal-libertarian
menyalahkan patriarki atas kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan.
Patriarki merupakan struktur sosial yang memberikan dominasi kekuasaan pada
laki-laki sehingga mengakibatkan penindasan pada perempuan. Kemudian,
konsep seksisme digunakan untuk menunjukan adanya patriarki dalam parlemen.
Sedangkan konsep kekerasan seksual digunakan untuk mengkategorikan tindakan
mana saja yang termasuk kedalam kategori kekerasan seksual. Metode dalam
penelitian ini menggunakan deskriptif-kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan
data menggunakan studi pustaka (library research) dengan memanfaatkan data
sekunder. Peneliti mengambil data sekunder dari buku, jurnal, berita, dan berbagai
berita atau artikel kredibel yang ada di internet Hasil penelitian menunjukan bahwa patriarki berpotensi menyebabkan
kekerasan seksual pada perempuan dalam Parlemen Australia. Patriarki
menimbulkan ketimpangan kekuasaan dengan laki-laki sebagai pihak pemegang
kekuasaan sedangkan perempuan pihak yang tersubordinasi. Lebih lanjut,
ketimpangan kekuasaan dapat mendorong laki-laki bertindak sewenang-wenang
terhadap perempuan termasuk berupa kekerasan seksual. Patriarki di Parlemen
Australia diperparah dengan budaya alkohol. Alkohol digunakan pelaku untuk
mendegradasi kekuasaan perempuan dengan menjadikannya objek seksual yang
pasif yakni dengan membuatnya mabuk, hal ini sebagaimana yang terjadi pada
Higgins. Ketimpangan kekuasaan juga semakin besar dengan adanya senioritas
karena memberikan “kekuasaan ganda” pada pelaku untuk memaksakan kehendak
seksualnya pada korban. Patriarki di Parlemen Australia terlihat dari adanya
seksisme. Seksisme mendukung adanya relasi kekuasaan tidak seimbang melalui
pandangan negatif pada perempuan yang pada akhirnya menyebabkan kekerasan
seksual, sebagaimana yang terjadi pada Julia Gillard dan Sarah Hanson-Young.
Adapun masih eksisnya patriarki di Parlemen Australia disebabkan oleh wacana
patriarki yang terus diproduksi ulang melalui seksisme. Dalam hal ini, media dan
Partai politik khususnya Partai Liberal berperan dalam memproduksi ulang
seksisme yang ada dalam Parlemen Australia.