Diplomasi Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Menyelesaikan Disintegrasi Aceh Tahun 2004-2009
Abstract
Konflik RI-GAM terjadi karena Aceh ingin melepaskan diri dari Indonesia. Alasannya pendapatan minyak dan gas bumi diambil pemerintah pusat, sedangkan distribusi ke Aceh hanya diberi 5-20% dari pemasukan hasil pengolahan alam. Pemerintah Orde Baru merespon konflik RI-GAM dengan menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1990. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis strategi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyelesaikan konflik RI-GAM pada tahun 2004-2005. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini pemerintahan SBY memilih usaha damai untuk menghindari korban perang. Pemerintahan pusat melakukan upaya negosiasi dengan GAM, masing-masing saling mengirimkan delegasi. Pihak RI diwakili oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah dan I Gusti Wesaka Pudja. Pihak GAM diwakili oleh Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M. Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman dan Bakhtiar Abdullah. Perundingan RI-GAM difasilitasi lembaga Criris Management Initiative (CMI) pada Januari-Juli 2005. Perundingan RI-GAM menghasilkan Nota Kesepahaman Helsinki yang dijadikan landasan pembentukan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemerintahan SBY mulai melaksanakan isi kesepakatan Helsinki pada bulan Juli tahun 2005.